Kembali ke Surat Al-Baqarah

البقرة (Al-Baqarah)

Surat ke-2, Ayat ke-178

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْاُنْثٰى بِالْاُنْثٰىۗ فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗفَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.

📚 Tafsir Al-Muyassar

Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul Nya, serta mengerjakan amal sesuai dengan syariat Nya, Allah telah mewajibkan atas kalian untuk memberlakukan hukum qisas terhadap pembunuhan dengan sengaja membunuh, dengan syarat adanya kesetaraan dan persamaan status; yaitu orang merdeka dibunuh dengan orang merdeka, hamba sahaya dibunuh dengan hamba sahaya, dan wanita dibunuh dengan wanita. Maka barangsiapa mendapatkan toleransi dari wali yang terbunuh dengan pemberian pengampunan dari hukum qisas, dan mau menerima dengan cukup mengambil diyatnya (nominal uang tertentu yang dibayarkan oleh pelaku pembunuhan sebagai pengganti atas pengampunan bagi dirinya) maka hendaknya kedua belah pihak tetap berkomitmen untuk berlaku baik, maka wali korban meminta diyat tanpa kekerasan, dan sang pembunuh membayarkan diatnya kepada wali korban dengan baik,tanpa penundaan dan pengurangan. Pemberian maaf beserta pengambilan diyat itu merupakan bentuk keringanan dari Tuhan kalian dan rahmat terhadap kalian, dimana didalamnya ada unsur kemudahan dan kemanfaatan yang dicapai.

Maka barangsiapa yang membunuh si pelaku pembunuhan setelah dimaafkan dan mengambil diyatnya, maka baginya siksaan yang pedih dengan dibunuh sebagian hukum qishash di dunia atau dengan api neraka di akhirat kelak.

Sumber: https://tafsirweb.com/677-surat-al-baqarah-ayat-178.html

📚 Tafsir as-Sa'di

178. Allah memberikan karunia kepada hamba-hambaNya yang beriman dengan mewajibkan atas mereka menegakkan “qishash berkenaan dengan orang-orang yang terbunuh,” yakni memberikan hukuman yang sama, dimana pelaku pembunuhan dibunuh dengan model pembunuhan yang ia lakukan terhadap orang yang dibunuhnya, sebagai penegakan keadilan dan kesetaraan antara manusia. Diarahkan nya kalimat ini kepada kaum muslimin secara umum adalah dalil yang menunjukkan bahwa hal itu wajib atas mereka semua hingga keluarga pelaku pembunuhan atau bahkan hingga pelaku pembunuhan itu sendiri sebagai bentuk pertolongan bagi keluarga orang yang terbunuh apabila mereka memilih qishash dan memungkinkannya menuntut hal tersebut dari pihak pelaku tersebut, dan tidak dibolehkan bagi mereka untuk merubah hukum tersebut dan menghalangi keluarganya dalam memilih hukum qishash sebagaimana kebiasaan orang-orang jahiliyah atau orang-orang yang semisalnya dari orang-orang yang melindungi pelaku kedholiman.

Kemudian Allah menjelaskan rincian hal tersebut seraya berfirman, “Orang merdeka dengan orang yang merdeka.” Menurut makna lafadznya, termasuk di dalamnya adalah laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, perempuan dengan laki-laki, dan laki-laki dengan perempuan. Maka makna tersurat dari lafadz itu itu lebih didahulukan daripada makna yang terpahami dari firmanNya, “dan perempuan dengan perempuan,” disertai dengan adanya dalil dari as-sunnah, yaitu bahwa laki-laki juga dibunuh dengan perempuan. Namun kedua orang tua dan seterusnya keatas tidak termasuk dalam makna yang umum ini, artinya bahwa mereka tidak dibunuh karena membunuh anak, disebabkan adanya as-sunnah yang menjelaskan akan hal tersebut.

Padahal dalam firmanNya, “hukum qishash,” terkandung apa yang menunjukkan bahwa bukanlah suatu keadilan jika seorang ayah dibunuh karena membunuh anaknya, dan karena dalam hati seorang ayah ada rasa kasih sayang dan rahmat (yang begitu kuat) yang akan menghalanginya dari tindakan membunuh anaknya sendiri kecuali dengan sebab adanya gangguan pada akalnya atau kedurhakaan yang besar dari anaknya terhadap dirinya. Dan termasuk yang tidak terkait dalam keumuman tersebut adalah seorang kafir, berdasarkan dalil as-sunnah, padahal ayat ini diarahkan khusus untuk kaum mukminin. Dan juga bukanlah suatu keadilan bila seorang wali Allah dibunuh karena membunuh seorang musuh Allah. “Dan hamba dengan hamba,” perempuan ataupun laki-laki, yang sama maupun berbeda kadar harganya.

Ayat ini menurut pemahaman terbaliknya menunjukkan bahwa seorang yang merdeka tidak dibunuh karena membunuh hamba, karena tidak sama derajatnya. “Dan wanita dengan wanita.” Sebagian ulama mengambil dari pemahaman terbaliknya adalah bahwa laki-laki tidak dibunuh karena membunuh perempuan, dan hal ini telah dibahas sebelumnya. Ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya hukum qishash adalah wajib dalam masalah pembunuhan, dan bahwa membayar diyat itu adalah sebagai penggantinya. Oleh karena itu Allah berfirman, “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,” maksudnya, keluarga orang yang terbunuh memaafkan pembunuhnya untuk diganti dengan membayar diyat saja atau sebagian keluarga terbunuh memaafkan, maka gugurlah hukum qishash dan wajiblah hukum membayar diyat atas si pembunuh.

Penentuan pilihan pada tuntutan qishash dan pilihan membayar diyat, kembali kepada Wali yang terbunuh. Apabila dia memaafkan pembunuhnya, maka wajiblah atas Wali itu hukum tersebut, yakni si Wali si terbunuh, untuk mengikuti (kesanggupan) si pembunuh “dengan cara yang baik,” tanpa memberatkannya dan membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dipikulnya akan tetapi hendaknya ia menuntut dan meminta dengan baik serta tidak menyusahkannya. Dan hendaklah si pembunuh juga “membayar diyat kepada yang memaafkan dengan cara yang baik pula,” dengan tidak menunda-nunda, tidak kurang dan tidak berbuat kejelekan, baik perkataan maupun perbuatan.

Dan tidak ada balasan kebaikan dengan pemaafan itu, kecuali kebaikan (pula) dengan menunaikannya dengan baik. Ini sangat diperintahkan dalam segala hal yang bersangkutan dengan hak-hak manusia, yaitu seorang yang memiliki hak diperintahkan untuk menuntut dengan cara yang baik, dan orang yang diwajibkan untuk menunaikan hak orang lain, juga harus menunaikannya dengan cara yang baik pula. Dan dalam FirmanNya, “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,” terkandung sikap kelembutan hati dan anjuran kepada tindakan memaafkan dengan berpindah kepada mengambil bayaran diyat, dan tentunya yang lebih baik dari itu adalah tindakan memaafkan tanpa bayaran.

Dalam firmanNya, “Saudaranya,” terkandung salil yang menunjukkan bahwa pelaku pembunuhan itu bukanlah kafir, karena yang dimaksud dalam persaudaraan di sini adalah persaudaraan dengan ikatan keimanan, dan dia tidak akan dikatakan terlepas dari ikatan itu dengan pembunuhan tersebut, maka lebih patut lagi hal seperti itu berlaku pada masalah kemaksiatan yang tidak menyebabkan kekufuran, pelakunya tidaklah dikafirkan karena melakukan kemaksiatan tersebut, hanya saja keimanannya berkurang. Apabila keluarga orang yang terbunuh atau sebagian dari mereka memaafkan, maka darah pembunuhnya haram ditumpahkan oleh mereka maupun oleh selain mereka. Oleh karena itu Allah berfirman, “barangsiapa yang melampaui batas setelah itu,” yakni, setelah adanya pemaafan, “maka baginya siksa yang pedih,” maksudnya, diakhirat.

Adapun membunuhnya ataupun tidak membunuhnya, maka diambil dari yang sebelumnya karena ia telah membunuh yang sederajat dengannya, maka ia pun harus dibunuh karenanya. Adapun orang yang menafsirkan siksa yang pedih itu dengan membunuh dan bahwa ayat ini menunjukkan wajibnya membunuh si pembunuh serta tidak bolehnya dimaafkan, maka pendapat seperti ini telah dikatakan oleh sebagian ulama, tetapi yang lebih benar adalah yang pertama, karena pelanggarannya tidak lebih dari pelanggaran yang lainnya. Kemudian Allah menjelaskan hikmah yang agung dari syariat hukum qishash seraya berfirman,

Sumber: https://tafsirweb.com/677-surat-al-baqarah-ayat-178.html

📚 Tafsir Al-Wajiz

178. Wahai orang-orang mukmin, telah diwajibkan atas kalian hukum qishash atas pembunuhan yang dilakukan sengaja, bukan pembunuhan yang lainnya, yang mana qishash itu dilakukan oleh wali perkara tersebut berdasarkan kaidah persamaan, yang mana orang yang merdeka dibunuh karena membunuh orang merdeka, dan hamba dibunuh karena membunuh hamba. Jadi tidak boleh orang yang merdeka dibunuh karena membunuh hamba.

Jumhur ulama’ selain mazhab hanafi tidak memperbolehkan membunuh orang muslim karena membunuh orang kafir berdasarkan sunnah yang telah ditetapkan. Dan wanita itu dibunuh wanita karena membunuh wanita begitu juga laki-laki. Dan laki-laki itu dibunuh karena membunuh wanita sebagai penerapan hadits “Wa innarrajula yuqtalu bil mar’ah” Maka ketika pembunuh itu diampuni oleh walinya agar tidak diqishash secara cuma-cuma atau dengan diyat, maka tuntutan terhadap pembunuh harus dilakukan dengan baik.

Dan tidak diwajibkan bagi pembunuh untuk membayar diyat sekaligus jika dalam keadaan sulit. Dan wajib baginya untuk membayar diyat kepada wali orang yang terbunuh dengan baik tanpa menunda-nunda, mengingkarinya atau menyakitinya dalam bentuk ucapan. Hukum terkait pemberian maaf atau diyat itu adalah salah satu syariat untuk meringankan kalian wahai orang-orang mukmin.

Dan pemaafan itu adalah sebagai gantinya baik secara cuma-cuma atau dengan tebusan (diyat). Ketika hal ini dihubungkan dengan hukum taurat yang terbatas hukumannya pada qishash saja, maka hal ini adalah rahmat bagi kalian. Maka barangsiapa melanggarnya setelah adanya pemaafan atau pembayaran diyat dengan membalas dendam kepada pembunuh maka baginya itu azab yang pedih di akhirat.

Dan qishash itu dilakukan di dunia. Ayat ini turun (sebagaimana yang disebutkan oleh Qatadah, Asy-Sya’biy dan lainnya) untuk menghindari tindakan melampaui batas dan kesewenang-wenangan orang-orang Jahiliyyah yang memperbolehkan orang yang merdeka membunuh hamba, laki-laki membunuh perempuan, serta membunuh orang lain selain pembunuh.

Sumber: https://tafsirweb.com/677-surat-al-baqarah-ayat-178.html

📚 Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas)

Ayat 178-179 Allah SWT berfirman: Telah diwajibkan atas kalian hukum qishash, wahai orang-orang mukmin. Maka, hendaklah kalian membunuh orang yang merdeka dengan orang yang merdeka, budak dengan budak, perempuan dengan perempuan. Dan janganlah melampaui batas dan menyalahi, sebagaimana orang-orang sebelum kalian mengubah hukum-hukum Allah yang telah Dia atur untuk mereka.

Penyebab hal ini yaitu Bani Quraizhah dan Bani Nadhir. Bani Nadhir telah berperang melawan Bani Quraizhah di zaman jahiliyah, dan mengalahkan mereka. Ketika orang dari Bani Nadhir membunuh orang dari Bani Quraizhah, maka tidak dihukum mati.

Sebaliknya, dia dijatuhi hukuman dengan membayar seratus sa' kurma. Namun, ketika orang dari Bani Quraizhah membunuh orang dari Bani Nadhir, dia dihukum mati. Jika mereka ingin menebusnya maka jumlahnya adalah dua ratus sa' kurma, dua kali lipat dari diyat untuk menebus orang dari Bani Quraizhah.

Lalu Allah memerintahkan keadilan dalam qishash, dan janganlah kalian mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan, yang melanggar hukum-hukum Allah dalam kasus ini dengan melakukan kekufuran dan pelanggaran. Allah SWT berfirman: (diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita) Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firmanNya: *Dan perempuan dengan perempuan) bahwa mereka dulu tidak membunuh seorang lelaki dengan seorang perempuan. Tetapi mereka membunuh lelaki dengan lelaki, dan perempuan dengan perempuan.

Lalu Allah menurunkan ayat: (jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata) (Surah Al-Ma'idah: 45).

Oleh karena itu, orang merdeka dalam qishash dianggap sama, baik itu laki-laki maupun perempuan, baik dalam kasus pembunuhan maupun dalam kasus lainnya. Begitu juga, budak dianggap setara, baik laki-laki maupun perempuan, dalam qishash kasus pembunuhan atau kasus lainnya. Diriwayatkan juga dari Abu Malik bahwa ayat ini telah dimansukh dengan firman Allah: (jiwa (dibalas) dengan jiwa) Catatan: Mazhab Abu Hanifah mengatakan bahwa orang merdeka boleh membunuh budak berdasarkan keumuman ayat dari surah Al-Maidah.

Pendapat ini juga dipegang oleh Ats-Tsawri, Ibnu Abu Laila, dan Dawud. Hal ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Sa'id bin Al-Musayyib, Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah, dan Al-Hakim. Bukhari, Ali bin Al-Madini, Ibrahim An-Nakha'i, dan Ats-Tsawri berkata dalam satu riwayat tentang hal itu bahwa seorang tuan boleh membunuh budaknya berdasarkan keumuman hadis Al-Hasan dari Samrah, “siapa yang membunuh budaknya, maka kami akan membunuhnya, siapa yang menyakiti hidung budaknya, maka kami akan menyakiti hidungnya, dan siapa yang mengebiri budaknya, maka kami akan mengebirinya juga" Mayoritas ulama’ berbeda pendapat dari pendapat ini, mereka mengatakan bahwa orang merdeka tidak boleh membunuh budak karena budak dianggap sebagai barang, jika dibunuh secara tidak sengaja, tidak ada denda yang harus dikeluarkan, namun nilainya wajib dibayar.

Ini karena tidak mungkin dimiliki dengan sebagian kecil melainkan seluruh tubuhnya. Abu Tsaur meriwayatkan kesepakatan bahwa orang merdeka tidak diperbolehkan merusak bagian tubuh budaknya. Namun pendapat ini bantah oleh Dawud Azh-Zhahiri dengan sabda nabi Muhammad SAW, "Muslim itu saling setara dalam pertumpahan darah mereka" Mayoritas ulama mengambil pendapat bahwa seorang Muslim tidak boleh dibunuh dengan seorang kafir, sebagaimana yang tercatat dalam riwayat Bukhari dari Ali bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Seorang Muslim tidak boleh dibunuh dengan seorang kafir”.

Dan hadits itu tidak shahih, namun tidak ada penafsiran yang bertentangan dengannya. Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa orang merdeka dapat dibunuh dengan budaknya berdasarkan keumuman ayat dari surah Al-Maidah. Catatan: Al-Hasan dan ‘Atha' berkata bahwa seorang pria tidak boleh membunuh wanita berdasarkan ayat ini.

Mayoritas ulama, berbeda pendapat dengan mereka sesuai ayat ayat dari surah Al-Maidah dan sabda nabi Muhammad SAW,"Muslim itu saling setara dalam pertumpahan darah mereka" Al-Laits mengatakan bahwa jika seorang pria membunuh istrinya, dia tidak akan dihukum mati harena khusus hal itu. Catatan: Pendapat mayoritas imam empat mazhab dan mayoritas ulama adalah bahwa kelompok dapat membunuh seorang individu. Umar berkata dalam kasus seorang anak yang dibunuh tujuh orang, maka dia membunuh mereka.

Dia mengatakan, "Jika penduduk Sana’a berkumpul membantunya, maka mereka akan membunuhnya." Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para sahabat pada masanya tentang ini. Ini setara dengan ijma'. Diriwayatkan dari Imam Ahmad sebuah riwayat bahwa kelompok tidak boleh membunuh individu dan tidak boleh membunuh satu jiwa kecuali dengan satu jiwa, Hal ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Muzhir dari Mu'adh, Ibnu Zubair, Abdul Malik bin Marwan, Az-Zuhri, Muhammad bin Sirin, dan Habib bin Abi Tsabit.

Kemudian Ibnu Muzhir berkata, "Ini adalah pendapat yang lebih benar dan tidak ada hujjah bagi mereka yang membolehkan membunuh kelompok oleh satu individu." Apa yang telah kami sebutkan itu telah ditetapkan dari riwayat Ibnu Zubair, dan jika terjadi perbedaan pendapat di antara para sahabat, maka solusinya adalah merenungkan pandangan mereka. Firman Allah SWT: (Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)) Maka pengampunan di sini adalah menerima pembayaran denda dalam kasus pembunuhan yang disengaja. Mujahid meriwayatkan dari Ibnu Abbas: (Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)) Maka pengampunan di sini adalah menerima pembayaran denda dalam kasus pembunuhan yang disengaja.

Hal yang sama juga diriwayatkan dari Abu Al-‘Aliyah, Abu Asy-Sya'tsa', Mujahid, Sa'id bin Jubair, ‘Atha', Al-Hasan, Qatadah, dan Muqatil bin Hayyan. Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas: (Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya) artinya, jika dia meninggalkan untuknya sesuatu, yaitu menerima pembayaran denda setelah tuntutan darah terpenuhi. Hal itu adalah pengampunan. (hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik) artinya bahwa orang yang menuntut harus mengikuti dengan cara yang baik jika menerima pembayaran denda (diyat) (membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)) yaitu pembunuh yang tidak dalam keadaan membela diri atau mempertahankan diri.

Al-Hakim meriwayatkan dari hadits Sufyan dari Amr dari Mujahid dari Ibnu Abbas berkata “yang dituntut harus membayar dengan cara yang baik” Hal yang serupa ini juga dikatakan oleh Sa'id bin Jubair, Abu Asy-Sya'tsa', Jabir bin Zaid, Al-Hasan, Qatadah, ‘Atha' Al-Khurasani, Ar-Rabi' bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan. Catatan: Imam Malik dalam riwayat dari Ibnu Qasim yang merupakan pendapat masyhur, Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, dan Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya, berkata: "pihak keluarga tidak boleh memaafkan atas dasar diyat kecuali dengan persetujuan pembunuh." Namun, beberapa ulama lainnya berkata bahwa wali boleh memaafkan atas dasar diyat tanpa persetujuan pembunuh. Sekelompok ulama’ salaf berpendapat bahwa pemberian maaf hanya berlaku untuk wanita.

Di antara mereka adalah Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Ibnu Syubrumah, Al-Laits, dan Al-Awza'i. Namun, beberapa yang lain berbeda pendapat dengan mereka. Firman Allah SWT: (Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat) Allah SWT berfirman: Sesungguhnya hukum mengambil diyat bagi kalian dalam kasus pembunuhan yang disengaja, adalah bentuk keringanan dari Allah bagi kalian dan bentuk kasih sayangNya terhadap kalian, sebagai suatu hal yang telah diatur bagi umat-umat sebelum kalian dalam hal pembunuhan atau pengampunan, sebagaimana Ibnu Abbas mengatakan: "Telah ditetapkan bagi Bani Israil untuk menjalankan hukum qishash dalam kasus pembunuhan, dan tidak ada pengampunan dalam hal ini, Lalu Allah berfirman kepada umat ini: (diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya) jadi pengampunan dengan menerima diyat dalam kasus pembunuhan yang disengaja ini adalah bentuk keringanan dari ketetapan yang telah diberlakukan bagi umat-umat sebelum kalian. (hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik) Riwayat ini telah diriwayatkan oleh berbagai perawi dari Amr.

Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab hadis shahihnya meriwayatkan dari Amr bin Dinar. Imam Bukhari dan An-Nasa'i juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan banyak riwayat dari Mujahid dari Ibnu Abbas, pendapat semacam itu. Qatadah berkata tentang firmanNya (Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu) Allah merahmati umat ini dan memberi mereka rezeki berupa diyat yang tidak diizinkan bagi siapa pun sebelum mereka.

Ahli kitab Taurat hanya memiliki hukuman qishash dan tidak ada ampunan dengan denda di antara hukum mereka. Sedangkan Ahli kitab Injil hanya diperintahkan atas ampunan. Adapun untuk umat ini, Allah telah menetapkan qishash, ampunan dan denda.

Penadapat serupa juga diriwayatkan dari Sa'id bin Jubair, Muqatil bin Hayyan, dan Rabi' bin Anas Firman Allah SWT, (Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih) Allah SWT berfirman, “Maka siapa saja membunuh setelah membayar atau menerima denda, maka baginya itu siksa yang sangat pedih dari Allah. Pendapat yang demikian diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, ‘Atha', 'Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' bin Anas, As-Sudi, dan Muqatil bin Hayyan bahwa yang dimaksud di sini adalah orang yang membunuh setelah membayar denda. Firman Allah SWT, (Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu) Allah SWT berfirman bahwa dalam aturan qishash bagi kalian, yaitu membunuh pembunuh itu ada hikmah besar bagi kalian, yaitu memelihara dan melindungi seseorang dari tindakan pembunuhan, karena ketika pembunuh tahu bahwa dia akan dihukum mati, dia akan mundur dari perbuatannya, dan ini akan melindungi kehidupan banyak orang.

Dalam kitab-kitab sebelumnya disebutkan “hukuman mati meniadakan pembunuhan”. Namun, ungkapan ini di dalam Al-Quran lebih jelas dan ringkas, (Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu) Abu Al-'Aliyah berkata: “Allah memberikan kehidupaan dalam hukum qishash.

Berapa banyak orang yang ingin saling membunuh, tetapi rasa takut akan dibunuh mencegahnya” Hal yang demikian juga diriwayatkan dari Mujahid, Sa'id bin Jubair, Abu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' bin Anas, dan Muqatil bin Hayyan. Catatana: Imam Malik, Abu Hanifah, Al-Awza'i, Al-Laits, dan Hammad bin Abi Sulaiman berpendapat bahwa jika seorang pria atau wanita membunuh, dan mereka memiliki anak-anak yang sudah dewasa dan yang masih kecil, maka yang dewasa memiliki hak untuk membunuh pembunuh tanpa menunggu anak yang masih kecil mencapai usia dewasa. Ini karena Hasan bin Ali membunuh Abdurrahman bin Muljam tanpa menunggu kedewasaan anak-anak Ali yang masih kecil.

Imam Syafi'i dan Imam Ahmad dalam pandangan yang masyhur serta mayoritas ulama berpendapat ,”menunggu anak-anak yang masih kecil dewasa karena mereka memiliki hak juga. Mungkin ada juga kasus di mana mereka memberi pengampunan. Allah SWT berfirman, (Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya….).

Catatan: Jika pihak keluarga korban memaafkan pembunuh, maka pembunuh harus mengeluarkan diyat, menurut pendapat Imam Syafi'i, Imam Ahmad, dan mayoritas ulama. Imam Malik, Al-Laits, dan Al-Awza’I berkata,”pembunuh akan dipukul seratus kali dan dipenjara selama setahun. Abu Tsaur berpendapat bahwa jika pembunuh itu terkenal dengan kejahatan, maka imam bisa memutuskan untuk menghukumnya dengan menjatuhkan hukuman penjara.

Pendapat Abu Tsaur Al-Qurthubi ini dianggap baik dalam penafsirannya. (hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa) yaitu wahai orang-orang yang memiliki akal dan pemahaman dan peringatan, semoga kalian menjauhi larangan-larangan Allah dan perbuatan dosa kepadaNya. Takwa adalah istilah yang mencakup semua tindakan ketaatan dan menjauhi perbuatan munkar"

Sumber: https://tafsirweb.com/677-surat-al-baqarah-ayat-178.html

Informasi Tambahan

Juz

2

Halaman

27

Ruku

23

Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk

Surah An-Nahl: 98

Adab Membaca Al-Quran

1. Suci dari Hadats

Pastikan dalam keadaan suci dari hadats besar dan kecil sebelum memegang dan membaca Al-Quran. Berwudhu terlebih dahulu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada kitab suci Al-Quran.

2. Niat yang Ikhlas

Membaca Al-Quran dengan niat mencari ridha Allah SWT, bukan untuk pamer atau mencari pujian. Niat yang ikhlas akan membawa keberkahan dalam membaca Al-Quran.

3. Menghadap Kiblat

Diutamakan menghadap kiblat saat membaca Al-Quran sebagai bentuk penghormatan dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Posisi duduk yang sopan dan tenang juga dianjurkan.

4. Membaca Ta'awudz

Memulai dengan membaca ta'awudz dan basmalah sebelum membaca Al-Quran. Ta'awudz merupakan permintaan perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.

5. Khusyuk dan Tenang

Membaca dengan tenang dan penuh penghayatan, memahami makna ayat yang dibaca. Tidak tergesa-gesa dan memperhatikan tajwid dengan baik.

6. Menjaga Kebersihan

Membaca Al-Quran di tempat yang bersih dan suci, serta menjaga kebersihan diri dan pakaian. Hindari membaca Al-Quran di tempat yang tidak pantas.

7. Memperindah Suara

Membaca Al-Quran dengan suara yang indah dan tartil, sesuai dengan kemampuan. Tidak perlu memaksakan diri, yang terpenting adalah membaca dengan benar sesuai tajwid.

Masukan & Feedback:info@finlup.id
© 2025 quran.finlup.id - All rights reserved