البقرة (Al-Baqarah)
Surat ke-2, Ayat ke-183
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
📚 Tafsir Al-Muyassar
Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul Nya dan mengerjakan amal sholeh sesuai dengan ajaran syariat Nya, Allah telah mewajibkan berpuasa atas kalian sebagaimana telah mewajibkan atas umat sebelum kalian supaya kalian bertakwa kepada Tuhan kalian, maka kalian menjadikan antara diri kalian dengan perbuatan-perbuatan maksiat dinding pelindung dengan taat kepada Nya dan beribadah kepada Nya semata.
Sumber: https://tafsirweb.com/687-surat-al-baqarah-ayat-183.html
📚 Tafsir as-Sa'di
183. Allah mengabarkan tentang segala yang Dia karuniakan kepada hamba-hambaNya dengan cara wajibkan atas mereka berpuasa sebagaimana Allah telah mewajibkan puasa itu atas umat-umat terdahulu, karena puasa itu termasuk di antara syariat dan perintah yang mengandung kemaslahatan bagi makhluk di setiap zaman. Puasa juga menambah semangat bagi umat ini yaitu dengan melompat lomba dengan umat lain dalam menyempurnakan amal perbuatan dan bersegera menuju kepada kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan puasa itu juga bukanlah suatu perkara sulit yang khusus bagi kalian.
Kemudian Allah menyebutkan hikmah disyariatkannya puasa seraya berfirman, “Agar kamu bertakwa,” karena sesungguhnya puasa itu merupakan salah satu faktor penyebab ketakwaan, karena berpuasa dalam merealisasikan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Dan diantara bentuk yang meliputi ketaqwaan dalam puasa itu adalah bahwa orang yang berpuasa akan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah seperti makan, minum, melakukan Jima, dan semacamnya yang sangat diinginkan oleh nafsunya dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah seraya mengharapkan pahala dalam meninggalkan hal tersebut. Ini merupakan bagian ketakwaan.
Dan diantaranya juga adalah bahwasanya orang yang berpuasa itu melatih dirinya untuk selalu merasa diawasi oleh Allah, maka dia meninggalkan apa yang diinginkan oleh nafsunya padahal dia mampu melakukannya karena dia tahu bahwa Allah melihatnya. Yang lain bahwasanya puasa itu mempersempit jalan masuk setan, karena setan itu berjalan dalam tubuh manusia seperti jalannya darah, maka puasa akan melemahkan pengaruhnya dan meminimumkan kemaksiatan. Diantaranya juga bahwa seorang yang berpuasa biasanya akan bertambah ketaatannya, dan ketaatan itu adalah gambaran dari ketakwaan.
Yang lainnya lagi adalah bahwa orang yang kaya bila merasakan susahnya kelaparan, pasti ia menghibur kaum miskin, dan ini pun termasuk gambaran ketakwaan.
Sumber: https://tafsirweb.com/687-surat-al-baqarah-ayat-183.html
📚 Tafsir Al-Wajiz
183. Wahai orang-orang yang beriman, Allah telah mewajibkan bagi kalian untuk berpuasa dengan menahan syahwat perut dan farji dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan ikhlas, sebagaimana Dia mewajibkannya atas umat-umat terdahulu, supaya kalian terhindar dari neraka dan mendapatkan ridha Tuhan, serta bisa menyucikan diri dari akhlak yang buruk.
Sumber: https://tafsirweb.com/687-surat-al-baqarah-ayat-183.html
📚 Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas)
Ayat 183-184 Allah SWT berfirman kepada orang-orang mukmin dari umat ini sambil memerintahkan mereka untuk berpuasa, yang berarti menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT dan tujuan untuk mensucikan, membersihkan, dan menjernihkan jiwa dari akhlak yang buruk dan tercela. Dia menyebutkan bahwa perintah yang Dia wajibkan kepada mereka itu seperti DIa mewajibkan kepada umat-umat sebelumnya. Hal ini menjadi contoh bagi mereka, dan hendaklah mereka berusaha melaksanakan kewajiban ini dengan lebih sempurna daripada yang dilakukan oleh umat sebelum mereka, sebagaimana Allah SWT berfirman: (Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan) (Surah Al-Ma'idah: 48).
Oleh karena itu, Allah berfirman: (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (183)) Karena dalam puasa puasa itu ada pembersihan bagi tubuh, dan mempersempit jalannya setan, Hal ini terdapat pada hadits shahih Bkhari Muslim,”Wahai para pemuda!
Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah,. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya” "Kemudian Dia menjelaskan jumlah puasa dimana puasa tidak dilakukan setiap hari, agar tidak memberatkan jiwa dan melemahkan keinginan untuk menanggung dan melaksanakannya, puasa hanya dilakukan di hari-hari tertentu saja. Pada awal permulaan Islam, mereka berpuasa tiga hari dari pada setiap bulan.
Kemudian hal itu dinasakh dengan puasa pada bulan Ramadan, sebagaimana akan dijelaskan nanti. Diriwayatkan bahwa puasa tiga hari pada awalnya sama seperti yang dilakukan oleh umat sebelum kita pada setiap bulan. Ini diriwayatkan dari Mu'adz, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, ‘Atha', Qatadah, dan Adh-Dhahhak bin Mazahim, dan mereka menambahkan bahwa puasa ini disyariatkan sejak zaman nabi Nuh hingga Allah me¬nasakhnya dengan puasa bulan Ramadan. ‘Ibad bin Manshur meriwayatkan dari Hasan Al-Bashri tentang ayat (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (183) (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu) dia berkata, “Benar demi Allah, sesungguhnya puasa telah diwajibkan atas setiap umat yang telah lalu, sebagaimana puasa yang diwajibkan atas kita selama satu bulan penuh dan (dalam beberapa hari yang tertentu) yaitu jumlah yang sudah ditentukan.
Diriwayatkan dari As-Suddi pendapat yang serupa. Ibnu Abi Hatim berkata, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Al-‘Aliyah, Abdurrahman bin Abu Laila, Mujahid, Sa'id bin Jubair, Muqatil bin Hayyan, Ar-Rabi' bin Anas, dan ‘Atha' Al-Khurasani pendapat yang serupa dengan itu. ‘Atha' Al-Khurasani meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang ayat (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu) artinya: Ahli Kitab. Diriwayatkan hal yang serupa juga dari As-Sya'bi, As-Suddi, dan ‘Atha' Al-Khurasani.
Kemudian Dia menjelaskan hukum puasa sesuai dengan apa yang diperintahkan pada awal Islam, Dia berfirman: (Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain) Artinya, orang yang sakit atau dalam perjalanan tidak berpuasa dalam kondisi sakit atau perjalanan, karena ada kesulitan bagi mereka. Bahkan mereka boleh berbuka dan menggantinya pada hari-hari yang lain. Adapun bagi orang yang sehat dan tinggal di tempatnya namun berat menanggung beban puasa, dia diberi pilihan antara berpuasa atau memberi makan kepada orang miskin.
Jika dia berkehendak maka dia berpuasa atau berbuka dan memberi makan setiap hari, dan memberi makan lebih banyak orang miskin setiap hari itu lebih baik. Jika dia berpuasa, itu lebih baik daripada memberi makan, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Mujahid, Thawus, Muqatil bin Hayyan, dan yang lainnya dari kalangan ulama’ salaf. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman: (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui) Adapun mengenai kondisi-kondisi berpuasa, maka Rasulullah SAW sampai di Madinah dan mulai berpuasa tiga hari pada setiap bulan, serta berpuasa pada hari ‘Asyura. Kemudian Allah mewajibkan puasa atasnya dan menurunkan ayatNya: (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu) sampai ayat (memberi makan seorang miskin) Oleh karena itu, barangsiapa hendak berpuasa, maka dia berpuasa, dan barangsiapa yang hendak memberi makan seorang miskin, maka itu akan digantikan baginya.
Lalu Allah SWT menurunkan ayat lain: ((Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran) sampai ayat (barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu) (Surah Al-Baqarah: 185), Maka Allah menetapkan ken=tentuan puasa itu atas orang yang bermukim yang sehat, dan memberi keringanan bagi orang yang sakit, dan musafir.
Ketentuan memberi makan bagi orang yang sudah tua yag tidak mampu melaksanakan puasa, maka hal ini terdapat dua kondisi. Dikatakan bahwa mereka makan, minum, dan melakukan hubungan suami istri sebelum tidur, dan apabila mereka tidur, maka semua itu dilarang. Kemudian seorang dari kaum Anshar yang bernama Shuramah, dia berpuasa sampai sore, lalu kembali kepada keluaraganya dan melakukan shalat ‘isya’ kemudian dia tidur, sedangkan dia belum makan dan minum hingga pagi hari, lalu dia melanjutkan berpuasa pada pagi harinya.
Rasulullah SAW melihatnya berusaha dengan sangat keras dan bertanya, “Mengapa aku melihatmu sangat berusaha keras?” Shuramah menjawab, “Wahai Rasulullah, aku bekerja pada hari sebelumnya dan aku pulang ketika waktunya pulang, lalu aku meletakkan tubuhku dan tidur, dan bangun di di pagi hari dalam keadaan berpuasa.”. Sementara Umar menggauli salah satu istrinya setelah tidur kemudian mendatangi Nabi SAW dan menyebutkan hal itu pada beliau, kemudian Allah SWT menurunkan ayat (Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu) sampai ayat (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam) Al-Baqarah: 187) Pendapat ini disampaikan oleh Abu Dawud dalam kitabnya dan Al-Hakim dalam kitabnya. Disampaikan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Az-Zuhri dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah berkata, pada hari Asyura berpuasa, tetapi setelah bulan Ramadan diwajibkan, maka orang diberi pilihan untuk berpuasa atau berbuka (pada hari Asyura).
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud dalam konteks yang serupa" Firman Allah SWT: (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) Sebagaimana disebutkan oleh Mu'adz: Pada awal perintah, siapa yang ingin berpuasa maka berpuasa, dan siapa yang ingin berbuka, maka berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari. Begitu pula, Imam Bukhari meriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa' bahwa dia berkata: “Ketika turun ayat (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin), siapa yang ingin berbuka dapat menebusnya sampai turunlah ayat selanjutnya yang menasakhnya. Diriwayatkan juga dari hadits Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibnu Umar, berkata: ayat itu dinasakh As-Suddi meriwayatkan dari Murrah dari Abdullah, dia berkata: "Ketika turun ayat ini: (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin), dia berkata: (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya) itu maknanya, yaitu menanggung hal itu.
Abdullah berkata,”Ada yang ingin berpuasa, maka berpuasa da nada yang ingin berbuka, maka dia berbuka dan memberi makan orang miskin”. (Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu) [Surah Al-Baqarah: 185].
Bukhari juga meriwayatkan dari ‘Atha' bahwa dia mendengar Ibnu Abbas membaca: (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin). Ibnu Abbas berkata: "Ini tidak dinasakh, dan hal ini adalah untuk orang yang sudah tua dan perempuan yang tua yang tidak mampu berpuasa, maka mereka memberi makan miskin setiap hari" Pendapat yang demikian juga diriwayatkan dari dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas. Abu Bakar bin Abi Syaibah meriwayatkan dari ‘Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dia berkata: Turunlah ayat ini: (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin).
Ini berlaku untuk orang yang sudah tua yang tidak mampu berpuasa, lalu dia melemah, maka diringankan baginya untuk memberi makan orang miskin setiap hari. Al-Hafiz Abu Bakar bin Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dia berkata: Aku mendatangi ‘Atha' di bulan Ramadan saat dia sedang makan. Ibnu Abbas berkata: ayat ini telah turun : (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin).
Siapa yang ingin berpuasa maka berpuasa, dan siapa yang ingin berbuka maka berbuka dan memberi makan orang miskin. Kemudian ayat yang pertama dinasakh dengan kewajiban bagi orang yang sudah tua yang tidak mampu, jika dia ingin maka dia bisa memberi makan orang miskin setiap hari dan ber berbuka. Kesimpulannya yaitu bahwa nasakh itu ditetapkan untuk orang yang sehat dan bermukim dengan diwajibkan untuk berpuasa, dengan firman Allah: (Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu) [Surah Al-Baqarah: 185].
Sedangkan untuk orang tua yang sudah tidak mampu berpuasa, mereka diperbolehkan untuk berbuka tanpa kewajiban menggantinya. Hal ini karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan kewajiban qadha’. Tetapi apakah wajib bagi mereka yang berbuka untuk memberi makan orang miskin sebagai pengganti puasa setiap hari, jika mereka mampu?
Terdapat dua pendapat di kalangan ulama tentang hal ini: Pertama, tidak wajib bagi mereka memberi makan karena mereka dalam keadaan lemah lisannya, dan oleh karena itu tidak ada kewajiban fidyah seperti halnya anak kecil, karena Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya. Ini adalah asalah satu pandangan ulama madzhab Syafi'i. Pendapat kedua (yang lebih kuat dan dipegang oleh mayoritas ulama) menyatakan bahwa mereka wajib memberi makan orang miskin sebagai pengganti puasa setiap hari, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas dan beberapa ulama’ Salaf, berdasarkan ayat, (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya), yaitu orang-orang yang terbebani oleh puasa.
Sebagaimana yang disampaikan Ibnu Mas’ud dan lainnya dan ini adalah penadapat yang dipilih oleh Imam Bukhari, dia berkata: “Adapun orang yang sudah tua, jika tidak mampu berpuasa, maka sungguh Anas setelah dia menua selama satu atau dua tahun pernah memberi makan orang miskin dengan roti dan daging setiap hari dan dia berbuka" Hal yang berkaitan dengan ini juga berlaku untuk ibu hamil dan menyusui yang khawatir tentang kesehatan diri mereka sendiri atau kesehatan anak-anak mereka. Dalam hal ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat bahwa mereka berdua boleh berbuka dan membayar fidyah, dan mengqadha puasa.
Ada yang mengatakan hanya perlu membayar fidyah saja tanpa mengqadha. Ada juga yang berpendapat bahwa mengqadha saja tanpa perlu membayar fidyah. Serta ada juga yang berpendapat tidak perlu mengqadha dan membayar fidyah, melainkan hanya berbuka.
Kami telah menguraikan masalah ini secara mendalam dalam bab tentang puasa, dan segala puji bagi Allah.
Sumber: https://tafsirweb.com/687-surat-al-baqarah-ayat-183.html
Informasi Tambahan
Juz
2
Halaman
28
Ruku
24