Kembali ke Surat Al-Baqarah

البقرة (Al-Baqarah)

Surat ke-2, Ayat ke-184

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

📚 Tafsir Al-Muyassar

Allah mewajibkan kepada kalian berpuasa pada hari-hari yang ditentukan bilangannya yaitu hari-hari di bulan Rhamadhan. Maka barangsiapa siantara kalian ada yang sakit dan berpuasa terasa berat baginya, atau sedang bepergian jauh maka dia boleh tidak berpuasa, dan dia harus mengganti berpuasa pada hari-hari yang lain sebanyak hari yang dia tidak berpuasa padanya, dan bagi orang yang mengalami kesulitan untuk berpuasa dan puasa memberatkan mereka dengan beban yang tak dapat dijalankan seperti yang dialami oleh orang yang lanjut usia, orang sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya, maka mereka membayar fidyah setiap hari ia berbuka, yaitu memberikan makanan bagi orang-orang yang membutuhkan yang tidak memiliki sesuatu yang bisa mencukupi dan menutup kebutuhannya. Barangsiapa yang melebihkan jumlahnya dengan sukarela maka itu lebih baik bagi dirinya, dan puasa kalian (walaupun dengan penuh kesulitan) maka itu lebih baik bagi kalian daripada memberikan fidyah, jika kalian mengetahui keutamaan besar untuk puasa di sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Sumber: https://tafsirweb.com/689-surat-al-baqarah-ayat-184.html

📚 Tafsir as-Sa'di

184. Ketika Allah menyebutkan kewajiban puasa bagi mereka, Dia mengabarkan bahwa puasa itu hanya pada hari-hari yang tertentu atau sedikit sekali dan sangat mudah, kemudian Allah memudahkan puasa itu dengan kemudahan lainnya. Dia berfirman, “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” Pada umumnya hal itu karena adanya kesulitan, sehingga Allah memberikan kemudahan bagi keduanya untuk berbuka, dan ketika menjadi suatu keharusan untuk mewujudkan kemaslahatan puasa bagi setiap orang yang beriman, maka Allah memerintahkan kepada mereka berdua agar mengganti puasanya itu pada hari-hari yang lain apabila penyakitnya telah sembuh dan berakhirnya perjalanan dan adanya istirahat.

Dalam firmanNya, “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain,” terkandung dalil yang menunjukkan bahwa ia harus mengganti sejumlah hari bulan Ramadan secara sempurna ataupun tidak, dan bahwa ia juga boleh mengganti hari-hari yang panjang lagi panas dengan beberapa hari yang pendek lagi sejuk seperti kebalikannya. Dan FirmanNya “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa),” maksudnya, mereka tidak mampu berpuasa, “membayar Fidyah” dari setiap hari yang mereka batalkan, “memberi makan seorang miskin.” Hal ini pada awal-awal kewajiban berpuasa ketika mereka belum terbiasa berpuasa dan saat itu kewajiban tersebut adalah suatu yang harus dilakukan oleh mereka yang akhirnya sangat berat bagi mereka untuk melakukannya. Lalu Allah Rabb Yang Maha bijaksana memberikan jalan yang paling mudah bagi mereka, Dia memberikan pilihan bagi orang yang tidak mampu berpuasa antara melakukan puasa atau itulah yang paling baik dan utama atau memberi makan.

Oleh karena itu Allah berfirman, “Dan berpuasa lebih baik bagimu,” kemudian setelah itu Allah menjadikan puasa itu harus dilakukan oleh orang yang mampu sedangkan orang yang tidak mampu, boleh berbuka lalu menggantinya pada hari yang lain.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang tidak mampu yaitu terbebani dan merasa sangat berat sekali untuk melaksanakannya seperti orang tua yang renta dalam membayar Fidyah untuk tiap hari kepada seseorang miskin, dan inilah yang benar.

Sumber: https://tafsirweb.com/689-surat-al-baqarah-ayat-184.html

📚 Tafsir Al-Wajiz

184. Diwajibkan atas kalian untuk berpuasa pada hari-hari tertentu dengan jumlah yang sudah ditentukan, yaitu pada bulan ramadhan. Maka barangsiapa orang-orang yang menerima kewajiban itu sakit, sehingga tidak bisa berpuasa atau akan mengalami kesulitan dan penderitaan, atau dalam keadaan berpergian dengan jarak minimal 89 km atau lebih, maka dia diperbolehkan untuk berbuka (membatalkan puasanya), namun dia harus mengganti puasa pada hari-hari yang seharusnya dia tidak puasa setelah sehat atau berpergian.

Dan wajib bagi orang-orang yang keberatan untuk berpuasa sehingga mereka tidak bisa berpuasa seperti orang yang sudah sangat tua, ibu hamil dan menyusui itu membayar fidiyah. Dan jumlahnya adalah memberi makan satu orang miskin untuk satu hari. Takaran pemberian makanannya adalah setengah sha’ gandum, satu sha’ kurma atau bahan lainnya.

Dan barangsiapa memberi makan lebih dari satu orang miskin, atau melebihi takaran fidiyah, maka pahalanya lebih utama dan lebih banyak. Puasa itu lebih baik bagi mereka daripada tidak puasa dengan memberi fidiyah, jika kalian mengetahui takaran pahala puasa di sisi Allah SWT. Ibnu Sa’d dalam beberapa catatannya meriwayatkan dari Mujahid yang berkata: “Ayat ini diturunkan tentang majikan Qays bin As-Saib {Wa ‘alalladzin Yuthiquunahu} lalu dia membatalkan puasa dan memberi makan satu orang miskin setiap harinya”

Sumber: https://tafsirweb.com/689-surat-al-baqarah-ayat-184.html

📚 Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas)

Ayat 183-184 Allah SWT berfirman kepada orang-orang mukmin dari umat ini sambil memerintahkan mereka untuk berpuasa, yang berarti menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT dan tujuan untuk mensucikan, membersihkan, dan menjernihkan jiwa dari akhlak yang buruk dan tercela. Dia menyebutkan bahwa perintah yang Dia wajibkan kepada mereka itu seperti DIa mewajibkan kepada umat-umat sebelumnya. Hal ini menjadi contoh bagi mereka, dan hendaklah mereka berusaha melaksanakan kewajiban ini dengan lebih sempurna daripada yang dilakukan oleh umat sebelum mereka, sebagaimana Allah SWT berfirman: (Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan) (Surah Al-Ma'idah: 48).

Oleh karena itu, Allah berfirman: (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (183)) Karena dalam puasa puasa itu ada pembersihan bagi tubuh, dan mempersempit jalannya setan, Hal ini terdapat pada hadits shahih Bkhari Muslim,”Wahai para pemuda!

Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah,. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya” "Kemudian Dia menjelaskan jumlah puasa dimana puasa tidak dilakukan setiap hari, agar tidak memberatkan jiwa dan melemahkan keinginan untuk menanggung dan melaksanakannya, puasa hanya dilakukan di hari-hari tertentu saja. Pada awal permulaan Islam, mereka berpuasa tiga hari dari pada setiap bulan.

Kemudian hal itu dinasakh dengan puasa pada bulan Ramadan, sebagaimana akan dijelaskan nanti. Diriwayatkan bahwa puasa tiga hari pada awalnya sama seperti yang dilakukan oleh umat sebelum kita pada setiap bulan. Ini diriwayatkan dari Mu'adz, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, ‘Atha', Qatadah, dan Adh-Dhahhak bin Mazahim, dan mereka menambahkan bahwa puasa ini disyariatkan sejak zaman nabi Nuh hingga Allah me¬nasakhnya dengan puasa bulan Ramadan. ‘Ibad bin Manshur meriwayatkan dari Hasan Al-Bashri tentang ayat (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (183) (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu) dia berkata, “Benar demi Allah, sesungguhnya puasa telah diwajibkan atas setiap umat yang telah lalu, sebagaimana puasa yang diwajibkan atas kita selama satu bulan penuh dan (dalam beberapa hari yang tertentu) yaitu jumlah yang sudah ditentukan.

Diriwayatkan dari As-Suddi pendapat yang serupa. Ibnu Abi Hatim berkata, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Al-‘Aliyah, Abdurrahman bin Abu Laila, Mujahid, Sa'id bin Jubair, Muqatil bin Hayyan, Ar-Rabi' bin Anas, dan ‘Atha' Al-Khurasani pendapat yang serupa dengan itu. ‘Atha' Al-Khurasani meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang ayat (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu) artinya: Ahli Kitab. Diriwayatkan hal yang serupa juga dari As-Sya'bi, As-Suddi, dan ‘Atha' Al-Khurasani.

Kemudian Dia menjelaskan hukum puasa sesuai dengan apa yang diperintahkan pada awal Islam, Dia berfirman: (Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain) Artinya, orang yang sakit atau dalam perjalanan tidak berpuasa dalam kondisi sakit atau perjalanan, karena ada kesulitan bagi mereka. Bahkan mereka boleh berbuka dan menggantinya pada hari-hari yang lain. Adapun bagi orang yang sehat dan tinggal di tempatnya namun berat menanggung beban puasa, dia diberi pilihan antara berpuasa atau memberi makan kepada orang miskin.

Jika dia berkehendak maka dia berpuasa atau berbuka dan memberi makan setiap hari, dan memberi makan lebih banyak orang miskin setiap hari itu lebih baik. Jika dia berpuasa, itu lebih baik daripada memberi makan, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Mujahid, Thawus, Muqatil bin Hayyan, dan yang lainnya dari kalangan ulama’ salaf. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman: (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.

Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui) Adapun mengenai kondisi-kondisi berpuasa, maka Rasulullah SAW sampai di Madinah dan mulai berpuasa tiga hari pada setiap bulan, serta berpuasa pada hari ‘Asyura. Kemudian Allah mewajibkan puasa atasnya dan menurunkan ayatNya: (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu) sampai ayat (memberi makan seorang miskin) Oleh karena itu, barangsiapa hendak berpuasa, maka dia berpuasa, dan barangsiapa yang hendak memberi makan seorang miskin, maka itu akan digantikan baginya.

Lalu Allah SWT menurunkan ayat lain: ((Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran) sampai ayat (barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu) (Surah Al-Baqarah: 185), Maka Allah menetapkan ken=tentuan puasa itu atas orang yang bermukim yang sehat, dan memberi keringanan bagi orang yang sakit, dan musafir.

Ketentuan memberi makan bagi orang yang sudah tua yag tidak mampu melaksanakan puasa, maka hal ini terdapat dua kondisi. Dikatakan bahwa mereka makan, minum, dan melakukan hubungan suami istri sebelum tidur, dan apabila mereka tidur, maka semua itu dilarang. Kemudian seorang dari kaum Anshar yang bernama Shuramah, dia berpuasa sampai sore, lalu kembali kepada keluaraganya dan melakukan shalat ‘isya’ kemudian dia tidur, sedangkan dia belum makan dan minum hingga pagi hari, lalu dia melanjutkan berpuasa pada pagi harinya.

Rasulullah SAW melihatnya berusaha dengan sangat keras dan bertanya, “Mengapa aku melihatmu sangat berusaha keras?” Shuramah menjawab, “Wahai Rasulullah, aku bekerja pada hari sebelumnya dan aku pulang ketika waktunya pulang, lalu aku meletakkan tubuhku dan tidur, dan bangun di di pagi hari dalam keadaan berpuasa.”. Sementara Umar menggauli salah satu istrinya setelah tidur kemudian mendatangi Nabi SAW dan menyebutkan hal itu pada beliau, kemudian Allah SWT menurunkan ayat (Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu) sampai ayat (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam) Al-Baqarah: 187) Pendapat ini disampaikan oleh Abu Dawud dalam kitabnya dan Al-Hakim dalam kitabnya. Disampaikan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Az-Zuhri dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah berkata, pada hari Asyura berpuasa, tetapi setelah bulan Ramadan diwajibkan, maka orang diberi pilihan untuk berpuasa atau berbuka (pada hari Asyura).

Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud dalam konteks yang serupa" Firman Allah SWT: (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) Sebagaimana disebutkan oleh Mu'adz: Pada awal perintah, siapa yang ingin berpuasa maka berpuasa, dan siapa yang ingin berbuka, maka berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari. Begitu pula, Imam Bukhari meriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa' bahwa dia berkata: “Ketika turun ayat (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin), siapa yang ingin berbuka dapat menebusnya sampai turunlah ayat selanjutnya yang menasakhnya. Diriwayatkan juga dari hadits Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibnu Umar, berkata: ayat itu dinasakh As-Suddi meriwayatkan dari Murrah dari Abdullah, dia berkata: "Ketika turun ayat ini: (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin), dia berkata: (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya) itu maknanya, yaitu menanggung hal itu.

Abdullah berkata,”Ada yang ingin berpuasa, maka berpuasa da nada yang ingin berbuka, maka dia berbuka dan memberi makan orang miskin”. (Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu) [Surah Al-Baqarah: 185].

Bukhari juga meriwayatkan dari ‘Atha' bahwa dia mendengar Ibnu Abbas membaca: (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin). Ibnu Abbas berkata: "Ini tidak dinasakh, dan hal ini adalah untuk orang yang sudah tua dan perempuan yang tua yang tidak mampu berpuasa, maka mereka memberi makan miskin setiap hari" Pendapat yang demikian juga diriwayatkan dari dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas. Abu Bakar bin Abi Syaibah meriwayatkan dari ‘Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dia berkata: Turunlah ayat ini: (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin).

Ini berlaku untuk orang yang sudah tua yang tidak mampu berpuasa, lalu dia melemah, maka diringankan baginya untuk memberi makan orang miskin setiap hari. Al-Hafiz Abu Bakar bin Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dia berkata: Aku mendatangi ‘Atha' di bulan Ramadan saat dia sedang makan. Ibnu Abbas berkata: ayat ini telah turun : (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin).

Siapa yang ingin berpuasa maka berpuasa, dan siapa yang ingin berbuka maka berbuka dan memberi makan orang miskin. Kemudian ayat yang pertama dinasakh dengan kewajiban bagi orang yang sudah tua yang tidak mampu, jika dia ingin maka dia bisa memberi makan orang miskin setiap hari dan ber berbuka. Kesimpulannya yaitu bahwa nasakh itu ditetapkan untuk orang yang sehat dan bermukim dengan diwajibkan untuk berpuasa, dengan firman Allah: (Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu) [Surah Al-Baqarah: 185].

Sedangkan untuk orang tua yang sudah tidak mampu berpuasa, mereka diperbolehkan untuk berbuka tanpa kewajiban menggantinya. Hal ini karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan kewajiban qadha’. Tetapi apakah wajib bagi mereka yang berbuka untuk memberi makan orang miskin sebagai pengganti puasa setiap hari, jika mereka mampu?

Terdapat dua pendapat di kalangan ulama tentang hal ini: Pertama, tidak wajib bagi mereka memberi makan karena mereka dalam keadaan lemah lisannya, dan oleh karena itu tidak ada kewajiban fidyah seperti halnya anak kecil, karena Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya. Ini adalah asalah satu pandangan ulama madzhab Syafi'i. Pendapat kedua (yang lebih kuat dan dipegang oleh mayoritas ulama) menyatakan bahwa mereka wajib memberi makan orang miskin sebagai pengganti puasa setiap hari, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas dan beberapa ulama’ Salaf, berdasarkan ayat, (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya), yaitu orang-orang yang terbebani oleh puasa.

Sebagaimana yang disampaikan Ibnu Mas’ud dan lainnya dan ini adalah penadapat yang dipilih oleh Imam Bukhari, dia berkata: “Adapun orang yang sudah tua, jika tidak mampu berpuasa, maka sungguh Anas setelah dia menua selama satu atau dua tahun pernah memberi makan orang miskin dengan roti dan daging setiap hari dan dia berbuka" Hal yang berkaitan dengan ini juga berlaku untuk ibu hamil dan menyusui yang khawatir tentang kesehatan diri mereka sendiri atau kesehatan anak-anak mereka. Dalam hal ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat bahwa mereka berdua boleh berbuka dan membayar fidyah, dan mengqadha puasa.

Ada yang mengatakan hanya perlu membayar fidyah saja tanpa mengqadha. Ada juga yang berpendapat bahwa mengqadha saja tanpa perlu membayar fidyah. Serta ada juga yang berpendapat tidak perlu mengqadha dan membayar fidyah, melainkan hanya berbuka.

Kami telah menguraikan masalah ini secara mendalam dalam bab tentang puasa, dan segala puji bagi Allah.

Sumber: https://tafsirweb.com/689-surat-al-baqarah-ayat-184.html

Informasi Tambahan

Juz

2

Halaman

28

Ruku

24

Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk

Surah An-Nahl: 98

Adab Membaca Al-Quran

1. Suci dari Hadats

Pastikan dalam keadaan suci dari hadats besar dan kecil sebelum memegang dan membaca Al-Quran. Berwudhu terlebih dahulu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada kitab suci Al-Quran.

2. Niat yang Ikhlas

Membaca Al-Quran dengan niat mencari ridha Allah SWT, bukan untuk pamer atau mencari pujian. Niat yang ikhlas akan membawa keberkahan dalam membaca Al-Quran.

3. Menghadap Kiblat

Diutamakan menghadap kiblat saat membaca Al-Quran sebagai bentuk penghormatan dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Posisi duduk yang sopan dan tenang juga dianjurkan.

4. Membaca Ta'awudz

Memulai dengan membaca ta'awudz dan basmalah sebelum membaca Al-Quran. Ta'awudz merupakan permintaan perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.

5. Khusyuk dan Tenang

Membaca dengan tenang dan penuh penghayatan, memahami makna ayat yang dibaca. Tidak tergesa-gesa dan memperhatikan tajwid dengan baik.

6. Menjaga Kebersihan

Membaca Al-Quran di tempat yang bersih dan suci, serta menjaga kebersihan diri dan pakaian. Hindari membaca Al-Quran di tempat yang tidak pantas.

7. Memperindah Suara

Membaca Al-Quran dengan suara yang indah dan tartil, sesuai dengan kemampuan. Tidak perlu memaksakan diri, yang terpenting adalah membaca dengan benar sesuai tajwid.

Masukan & Feedback:info@finlup.id
© 2025 quran.finlup.id - All rights reserved