البقرة (Al-Baqarah)
Surat ke-2, Ayat ke-188
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ
Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.
📚 Tafsir Al-Muyassar
Dan janganlah memakan sebagian dari kalian harta milik sebagian yang lain dengan cara-cara batil seperti dengan sumpah dusta, ghosob, mencuri, suap, riba, dan lain sebagainya. Dan janganlah pula kalian menyampaikan kepada penguasa penguasa berupa alasan-alasan batil untuk tujuan dapat memakan harta milik segolongan manusia dengan cara batil, Sedang kalian tahu haramnya hal itu bagi kalian.
Sumber: https://tafsirweb.com/699-surat-al-baqarah-ayat-188.html
📚 Tafsir as-Sa'di
188. Maksudnya, janganlah kalian mengambil harta sebagian kalian, artinya, harta orang lain. Allah menyandarkan harta itu kepada mereka, karena sepatutnya seorang muslim mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, ia menghormati hartanya sebagaimana hartanya dihormati, dan karena tindakannya memakan harta orang lain membuat orang lain akan berani memakan hartanya saat ia mampu.
Dan karena tindakannya memakan harta itu ada dua macam; pertama, dengan hak dan kedua, dengan batil, dan hal yang diharamkan dari kedua macam itu adalah ketika ia memakan harta orang lain dengan cara yang batil, maka Allah membatasinya dengan hal tersebut. Termasuk dalam hal itu adalah memakan harta orang lain dengan cara pemaksaan, pencurian, penghianatan pada suatu titipan atau pinjaman atau semacamnya, dan juga termasuk dalam hal itu adalah mengambilnya dengan cara barter yaitu dengan barter yang diharamkan, seperti akad akad riba, perjudian secara keseluruhan; semua itu adalah cara memakan harta orang lain dengan batil, karena bukan dalam bentuk pertukaran imbalan yang dibolehkan. Juga termasuk di dalam hal ini adalah mengambil dengan cara berbuat curang dalam jual-beli, penyewaan, dan semacamnya, dan termasuk dalam hal ini juga adalah menggunakan orang-orang upahan lalu memakan hasil upah mereka.
Demikian juga mengambil upah atas suatu pekerjaan yang belum ditunaikan. Termasuk dalam hal itu juga adalah mengambil upah terhadap ibadah dan perbuatan-perbuatan ketaatan, dimana semua itu tidaklah menjadi sah sehingga hanya diniatkan untuk Allah semata. Termasuk dalam hal itu juga adalah mengambil harta harta zakat, sedekah, wakaf, dan wasiat oleh orang yang tidak memiliki hak darinya atau lebih dari haknya yang semestinya.
Semua itu dan yang semacamnya merupakan bentuk-bentuk memakan harta dengan batil dan semua itu tidaklah halal dengan segala bentuknya walaupun perselisihan terjadi padanya atau dibawa ke pengadilan agama, dimana orang yang hendak memakan harta dengan cara yang batil berdalih dengan hujjah yang mengungguli hujjah orang yang benar, lalu Hakim memutuskan untuk memenangkan perkara nya dengan hujjah tersebut. Keputusan hukum dari kalian tidak membolehkan dan menghalalkan yang telah diharamkan, karena ia hanya menetapkan keputusan atas dasar apa yang ia dengar. Kalau tidak demikian, maka hakikat segala perkara tetaplah ada, karena keputusan hakim yang memenangkan orang yang hendak mengambil harta dengan batil tersebut tidak mendatangkan ketenangan, tidak ada pula keraguan keraguan (tentang keharaman) bahkan tidak pula rasa lega.
Dan barangsiapa yang mengemukakan di hadapan Hakim hujah-hujah yang batil lalu Hakim memenangkan perkaranya, maka sesungguhnya hal itu tidaklah halal baginya, dan barangsiapa yang telah memakan harta orang lain dengan batil dan dosa, sedang ia mengetahui hal itu, maka hukumannya tentu akan lebih keras. Dengan demikian, seorang wakil (kuasa hukum atau pengacara) apabila mengetahui bahwa orang yang mewakilkan nya itu batil dalam gugatannya, maka tidaklah halal baginya untuk berseteru demi membela seorang yang berkhianat, sebagaimana firman Allah : "dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat," Quran surat an-nisa ayat 105
Sumber: https://tafsirweb.com/699-surat-al-baqarah-ayat-188.html
📚 Tafsir Al-Wajiz
188. Janganlah kalian memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, yaitu sesuatu yang tidak diperbolehkan syariat untuk diambil, seperti bayaran pezina, dukun, dan khamr. Janganlah kalian mengadukan perkara tersebut, yaitu perkara tentang harta tersebut kepada hakim, dan janganlah kalian membelokkan hukum yang telah berjalan dengan uang suap dan semacamnya.
Dan keputusan hakim itu tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Dan kalian mengetahui bahwa kalian menzalimi orang lain dengan mengambil harta tersebut. Ayat ini turun untuk Imriul Qays bin Abis dan Abdan bin Asyra’ Al-Hadramy yang saling memperdebatkan sebidang tanah, Dan orang pertama ingin bersumpah, lalu turunlah ayat {Wa laa ta’kuluu amwaalakum bainakum bil baathili}
Sumber: https://tafsirweb.com/699-surat-al-baqarah-ayat-188.html
📚 Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas)
Ali bin Abu Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Hal ini mengenai seseorang yang memiliki harta tetapi tidak memiliki bukti yang jelas atas harta tersebut. Dia tidak berterima kasih atas harta tersebut dan mengajukan sengketa kepada hakim, padahal dia tahu tentang hak atas harta itu dan dia menyadari bahwa dia telah melakukan dosa dengan memakan sesuatu yang haram. Hal yang demikian juga diriwayatkan dari Mujahid, Sa'id bin Jubair, 'Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, As-Suddi, Muqatil bin Hayyan, dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, mereka mengatakan: “Janganlah memperkarakan harta itu sedangkan kamu tahu bahwa kamu berbuat zalim.
Telah disebutkan dalam hadits shahih Bukhari Muslim dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Aku hanyalah manusia biasa seperti kalian, dan sengketa diadukan kepadaku, dan bisa jadi diantara kalian ada yang lebih pandai bersilat lidah daripada yang lain sehingga aku memenangkannya dan aku mengira dirinya yang benar, maka siapa yang kumenangkan dengan melanggar hak muslim lainnya, itu adalah api, silahkan ia mengambil atau tinggalkan!" Ayat dan hadits ini menunjukkan bahwa keputusan seorang hakim tidak mengubah hakikat dari suatu permasalahan. Maka tidak bisa diubah menjadi halal sesuatu yang hakikatnya adalah haram, dan tidak bisa menjadi haram sesutau yang hakikatnya adalah halal. Sedangkan hal itu sudah lazim, jika hal tersebut hakikatnya seperti itu, maka seperti itulah hukumnya.
Jika hakim memutuskan sesuai dengan hakikat kasus tersebut, jika hakim itu jika jujur maka baginya pahalanya dan jika berbuat curang maka baginya dosanya. Karena itu, Allah SWT berfirman: (Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian), yaitu sekelompok orang (daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui) yaitu kalian mengetahui kebathilan yang kalian klaim dan sebarkan dalam perkataan kalian. Qatadah berkata “Ketahuilah, wahai anak cucu Adam, bahwa putusan seorang hakim tidak menjadikan halal sesuatu yang haram bagimu, dan tidak menjadikan benar sesuatu yang bathil bagimu.
Hakim memutuskan berdasarkan apa yang dia lihat dan disaksikan oleh para saksi. Hakim adalah manusia yang bisa salah dan benar dalam putusannya. Ketahuilah bahwa apabila seseorang yang diberi putusan dengan bathil baginya, maka perselisihannya tidak diakhiri sampai Allah mengumpulkan di antara keduanya di hari kiamat.
Allah akan memutuskan yang bathil dan yang benar dengan lebih adil, daripada keputusan yang benar dan yang salah di dunia. Abu Hanifah berkata bahwa hakim yang memberi keputusan tentang seseorang yang menceraikan seorang istri jika dia memiliki dua saksi palsu dalam masalah tersebut. Namun mereka adalah dua saksi yang adil menurut hakim.
Lalu dia menghalalkan istri bagi suami lain hingga bagi kedua saksi, dan dia mengharamkannya bagi suami yang menceraikannya. Mereka mengatakan: “Ini adalah seperti li’an atas wanita. Dia menjelaskan sesuatu tentang wanita itu dari sisi suaminya dan mengharamkan wanita itu bagi mantan suaminya itu. bahkan jika dia berdusta dalam masalah tersebut.
Jika hakim mengetahui bahwa kebohongannya, untuk memberi batasan kepada wanita itu lalu dia mengharamkan bagi wanitu itu atas suaminya, maka itu yang lebih baik.
Sumber: https://tafsirweb.com/699-surat-al-baqarah-ayat-188.html
Informasi Tambahan
Juz
2
Halaman
29
Ruku
24