البقرة (Al-Baqarah)
Surat ke-2, Ayat ke-197
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!
📚 Tafsir Al-Muyassar
Waktu pelaksanaan haji itu adalah pada bulan-bulan yang telah dimaklumi, yaitu bulan Syawal, dzulqo'dah, dan 10 hari dari bulan Dzulhijjah. maka barangsiapa telah memantapkan niat Haji atas dirinya pada bulan-bulan tersebut dengan memasuki keadaan ihram, maka diharamkan atas dirinya untuk berjimak dan aktivitas-aktivitas pengantarannya, baik berbentuk perkataan maupun perbuatan. Dan haram atas dirinya keluar dari ketaatan kepada Allah dengan berbuat maksiat-maksiat, dan perdebatan dalam berhaji yang dapat menyeret padat tersulut nya kemarahan dan kebencian. dan apapun kebaikan yang kalian perbuat niscaya Allah mengetahuinya, lalu membalasi tiap-tiap orang yang sesuai dengan amal perbuatannya. Dan bawalah bagi kalian perbekalan dari jenis makanan dan minuman bagi perjalanan ibadah haji, dan perbekalan dari jenis amal Shalih untuk Kampung akhirat.
Karena sesungguhnya sebaik-baik perbekalan adalah ketaqwaan kepada Allah. dan takutlah kepadaku Wahai orang-orang yang berakal sehat.
Sumber: https://tafsirweb.com/719-surat-al-baqarah-ayat-197.html
📚 Tafsir as-Sa'di
197. Allah mengabarkan bahwasanya, “Haji” terjadi pada “beberapa bulan yang dimaklumi,” yakni bagi orang-orang yang menjadi alamat pesan ayat ini, bulan-bulan tersebut telah sangat dikenal, di mana tidak perlu lagi ada pengkhususan, sebagaimana ibadah puasa membutuhkan penentuan bulannya, dan sebagaimana pula Allah menerangkan tentang waktu-waktu salat fardhu yang lima. Haji sesungguhnya merupakan ibadah yang telah disyariatkan sejak zaman ajaran Ibrahim Alaihissalam yang masih senantiasa berlaku dan diketahui oleh keturunannya.
Dan yang dimaksud dengan bulan-bulan yang dimaklumi menurut jumhur ulama adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, yaitu yang menjadi waktu untuk berihram untuk Haji pada umumnya. “Maka Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji,” yakni melakukan ihram haji, karena sejak mulai melakukannya secara otomatis menjadi sesuatu yang wajib, walaupun hukum awalnya adalah sunnah. Imam Syafi’i beserta ulama ulama yang sependapat dengan beliau menjadikan ayat ini sebagai dalil tidak bolehnya ihram dengan Haji sebelum tiba bulan bulannya. Saya berkata, sekiranya dikatakan, bahwa ayat ini mengandung dalil bolehnya berihram dengan Haji sebelum bulan mulanya sebagaimana pendapat jumhur ulama, pastilah hal itu lebih dapat diterima, karena firman Allah, “barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji” merupakan dalil bahwa kewajiban itu bisa terjadi pada bulan-bulan yang disebutkan dan bisa pula tidak terjadi pada bulan-bulan tersebut, kalau tidak seperti itu, Allah tidak akan membatasi nya.
Dan FirmanNya, “maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”, maksudnya, wajib atas kalian mengagungkan ihram dengan Haji tersebut, khususnya yang terjadi pada bulan bulannya dan kalian memeliharanya dari hal-hal yang merusaknya atau mengurangi pahala dari rafats, yaitu berjima, dan segala tindakan yang menuju ke sana, baik perbuatan maupun perkataan, khususnya setelah wanita berada di hadapan mereka. Dan perbuatan fasik maksudnya seluruh kemaksiatan yang diantaranya adalah larangan-larangan dalam berihram, dan dari berbantah-bantahan, maksudnya debat kusir, berselisih, dan bermusuhan; Karena semua itu akan menimbulkan keburukan dan permusuhan. Maksud dari berhaji adalah menunjukkan sikap kerendahan diri, ketundukan hanya kepada Allah, mendekatkan diri kepadaNya dengan segala kemampuan dari berbagai macam ketaatan, dan membersihkan diri dari mendekati kejelekan-kejelekan, karena dengan semua itu hanya akan menjadi haji yang mabrur, dan haji yang mabrur itu tidak ada balasan yang patut baginya kecuali surga.
Hal-hal diatas walaupun telah terlarang pada setiap waktu dan tempat, namun larangan dari semua itu akan lebih berat lagi saat ibadah haji. Ketahuilah, bahwasanya pendekatan diri kepada allah tidaklah sempurna hanya dengan meninggalkan kemaksiatan saja hingga dia menunaikan juga kewajiban yang diperintahkan, oleh karena itu Allah berfirman, “Dan apa yang kamu kerjakan dari kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.” Dalam ayat ini disebutkan dengan kata dari untuk menegaskan keumuman ayat itu, hingga segala kebaikan, ketaatan, dan ibadah termasuk kedalamnya.
Artinya sesungguhnya Allah maha mengetahui hal itu. Ayat ini mengandung anjuran yang sangat untuk berbuat kebajikan, khususnya di tempat-tempat yang mulia dan tanah-tanah haram yang memiliki kedudukan tinggi tersebut, maka sepatutnya menambah apa yang mungkin dapat ditambah dalam ibadah tersebut seperti shalat, puasa, sedekah, tawaf, berbuat baik berupa perkataan maupun perbuatan. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyiapkan bekal untuk perjalanan yang berkah ini, karena menyiapkan bekal untuk itu merupakan tindakan menghindar dari membutuhkan bantuan orang lain, menjauh dari harta harta mereka dengan bentuk permintaan maupun (menerima) pemberian, dan dalam memperbanyak bekal itu terdapat manfaat yang banyak dan dapat menolong seorang musafir serta sebagai nilai tambah dalam mendekatkan diri kepada Rabb sekalian alam.
Bekal yang dimaksud itu adalah melaksanakan perjalanan dengan apa yang memenuhi hajat dan perbekalan. Adapun perbekalan hakiki yang senantiasa langgeng manfaatnya bagi pemiliknya di dunia maupun di akhirat nya adalah bekal ketaqwaan yang merupakan pemekaran menuju negeri tempat menetap, dan ia adalah hal yang menyampaikan kepada kelezatan paling sempurna serta sebaik-baik kenikmatan yang akan selalu dan terus menerus. Dan barangsiapa yang meninggalkan perbekalan ini, maka ia akan terhalang dengannya, yang mana dia adalah pembawa kepada segala keburukan, dan ia terhalang untuk sampai ke negeri orang-orang yang bertakwa.
Oleh karena itu, hal ini adalah sebuah pujian bagi ketakwaan. Kemudian Allah memerintahkan hal tersebut kepada orang-orang yang berakal seraya berfirman, “bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal,” maksudnya, wahai orang-orang yang memiliki akal yang matang, bertakwalah kepada robb kalian, dimana bertakwa kepadaNya adalah hal yang paling agung yang diperintahkan oleh akal kepadanya, dan meninggalkan hal tersebut adalah sebuah tanda kebodohan dan kerusakan pikiran.
Sumber: https://tafsirweb.com/719-surat-al-baqarah-ayat-197.html
📚 Tafsir Al-Wajiz
197. Waktu haji itu bulan-bulannya telah ditentukan, yaitu Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah (10 hari pertama dari bulan tersebut). Barangsiapa berihram sebelum bulan-bulan itu maka dia memulai umrah.
Barangsiapa mewajibkan dirinya untuk berhaji di bulan-bulan ini lalu berihram, maka dia tidak boleh melakukan rafats (berjima’ atau mengucapkan perkataan kotor) fusuq (melakukan kemaksiatan atau melewati batas-batas syariat), dan jidal (perdebatan yang mengakibatkan perselisihan dan perkelahian). Dan kebaikan yang kalian lakukan dalam haji seperti memberi makan dan sedekah itu diketahui oleh Allah lalu akan membalasnya. Dan berbekallah makanan dan nafkah untuk berhaji sampai kalian tidak membutuhkan bantuan orang lain, dan berbekallah untuk akhirat dengan amal shalih.
Karena sebaik-baik bekal yang bermanfaat yaitu takwa kepada Allah. Dan takutlah kepada Allah, wahai orang-orang yang berakal.
Sumber: https://tafsirweb.com/719-surat-al-baqarah-ayat-197.html
📚 Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas)
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama’ bahasa Arab tentang firmanNya: ((Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi) Beberapa dari mereka mengatakan: Maknanya adalah: Haji selama bulan-bulan yang telah diketahui. Dengan pemahaman seperti ini, maka pelaksanaan ihram haji pada bulan-bulan tersebut lebih sempurna daripada ihram pada bulan lain. Jika begitu maka benar.
Pendapat yang menyatakan kebenaran ihram haji sepanjang tahun adalah mazhab Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Ibrahim An-Nakha'i, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad. Mereka berpendapat demikian dengan dalil firman Allah SWT: (Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji) (Surah Al-Baqarah: 189), dan bahwa haji adalah salah satu ibadah tahunan, maka boleh melakukan ihram sepanjang tahun seperti halnya umrah.
Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa ihram haji hanya sah jika dilakukan selama bulan-bulan haji. Jika seseorang berihram haji sebelum bulan-bulan tersebut, maka ihramnya cacat. Apakah umrahnya juga cacat?.
Ada dua pendapat mengenai hal ini. Pendapat bahwa ihram untuk haji hanya dilakukan dalam bulan-bulan haji itu diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Jabir. Pendapat ini jiga dikatakan oleh ‘Atha’, Thawus, dan Mujahid.
Dalil atas hal ini adalah firman Allah: ((Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi) Yang jelas yaitu makna lain yang dipilih oleh para ahli nahwu yaitu bahwa waktu haji adalah bulan-bulan yang telah diketahui, dimana haji itu dikhususkan pada bulan tertentu di antara bulan-bulan lain dalam setahun. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan ihram haji sebelum bulan-bulan tersebut tidak sah, seperti perbedaan waktu dalam shalat. Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau mengatakan: 'Tidak boleh berihram untuk haji kecuali dalam bulan-bulan haji, karena termasuk dari sunnah haji adalah berihram selama bulan-bulan haji”.
Sanad hadits ini sahhih. Pendapat sahabat Nabi (atau termasuk sunnah adalah begini) dalam hukum, ini meru[akan pendapat yang marfu’ menurut banyak ulama’. terutama pendapat Ibnu Abbas yang menafsirkan Al-Quran, sehingga dia disebut turjuman (ahli tafsir) Al-Qur’an" Firman Allah: (beberapa bulan yang dimaklumi).
Bukhari berkata: Ibnu Umar berkata: Bulan-bulan itu adalah Syawal, Dzulqaidah, dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Ini adalah ungkapan yang dikaitkan oleh Bukhari dengan tegas, yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Umar: ((Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi). Dia berkata: yaotu Syawal, Dzulqaidah, dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah.
Sanad hadits ini sahih. Saya berkata: “Pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas, ‘Atha’, Thawus, Mujahid, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Makhul, Qatadah, Adh-Dhahhak bin Muzahim, Ar-Rabi' bin Anas, dan Muqatil bin Hayyan. Itu adalah pendapat mazhab Asy-Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Abu Yusuf, dan Abu Tsaur.
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir.Dia berkata,“Dalam hal ini, penggunaan bentuk jamak merujuk pada dua bulan, dan sebagian dari bulan ketiga, untuk memperkuat pendapat ini, sebagaimana ucapan bangsa Arab: “Saya mengunjunginya tahun ini dan melihatnya hari ini. Sedangkan itu hanya terjadi dalam sebagian dari satu tahun dan hari tertentu. Allah SWT berfirman: (Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya) [Surah Al-Baqarah: 203] dia mempercepatnya dalam satu setengah hari.
Imam Malik bin Anas dan Asy-Syafi'i sebelumnya bahwa bulan-bulan itu adalah Syawal, Dzulqaidah, dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah secara sempurna. Ini juga merupakan riwayat dari Ibnu Umar"Dia berkata: “Bulan Syawal, Dzulqaidah, dan Dzulhijjah.” Ibnu Juraij berkata: “Aku bertanya kepada Nafi': “Apakah kamu pernah mendengar Abdullah bin Umar menyebutkan bulan-bulan haji? Dia menjawab, “Benar, Abdullah bin Umar menyebutkan bulan-bulan tersebut adalah Syawal, Dzulqaidah, dan Dzulhijjah.” Ibnu Juraij berkata: “Ibnu Syihab, Atha', dan Jabir bin Abdullah, sahabat Nabi menyebutkan hal serupa .' Pendapat ini bersanad shahih menurut Ibnu Juraij.
Hal ini juga diriwayatkan dari Thawus, Mujahid, ‘Urwah bin Zubair, dan Ar-Rabi' bin Anas dan Qatadah. Faedah dari madzhab Malik yaitu bahwa bulan-bulan itu hingga akhir bulan Dzulhijjah, yaitu di bulan khusus untuk haji, dan melakukan umrah di sisa bulan Dzulhijjah, dan haji tidak sah setelah malam hari raya kurban. Diriwayatkan dari Thariq bin Syihab, dia berkata: Abdullah berkata, ((Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi) tidak ada umrah di dalamnya.
Aku berkata: 'Telah disebutkan dari Umar dan Utsman bahwa keduanya lebih suka melakukan umrah di bulan-bulan selain bulan haji, dan melarang melakukan umrah dalam bulan-bulan haji, Hanya Allah yang lebih mengetahui. Firman Allah, (barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji) yaitu Dia mewajibkan ihram untuk melakukan haji. Di dalamnya terdapat petunjuk atas kewajiban untuk berihram dalam haji.
Ibnu Jarir mengatakan: “Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan ketentuan ini adalah kewajiban. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai ayat (barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji) dia berkata: “Yaitu seseorang berihram untuk haji atau umrah." Ibnu Abu Hatim berkata,”Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnu Az-Zubair, Mujahid, ‘Atha', Ibrahim An-Nakha'i, ‘Ikrimah, Adh-Dhahhak, Qatadah, Sufyan Ats-Tsauri, Az-Zuhri, dan Maqtil bin Hayyan, pendapat seperti itu. Thawus dan Al-Qasim bin Muhammad berpendapat bahwa yang dimaksud adalah “talbiyah” Firman Allah SWT: (maka tidak boleh rafats) yaitu siapa saja yang berihram untuk haji atau umrah, maka hendaknya dia menjauhi perbuatan-perbuatan rafath, yaitu berhubungan intim, sebagaimana Allah SWT berfirman: (Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu) [Surah Al-Baqarah: 187].
Demikian itu yang termasuk dalam larangan ini adalah menyentuh dan mencium secara langsung dan hal-hal semacamnya, serta berbicara tentang hal itu di hadapan wanita. Abdullah bin Umar berkata: “Rafats adalah berhubungan badan dengan wanita, dan berbicara tentang hal itu baik di hadapan pria maupun wanita saat mereka menyebutkannya dengan kata-kata mereka.” Abdullah bin Thawus meriwayatkan dari ayahnya, “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai firman Allah SWT: (maka tidak boleh rafats, berbuat fasik)? Ibnu Abbas menjawab: “Rafats adalah menyebutkan berhubungan intim, menyebut perkataan kotor dalam perkataan orang Arab, dan ini adalah tindakan rafats paling rendah.” ‘Atha' bin Abi Rabah mengatakan bahwa rafats adalah berhubungan intim, dan hal lain berupa ucapan kotor, Hal ini juga diungkapkan oleh Amr bin Dinar. ‘Atha' mengatakan bahwa mereka merasa benci mengatakan perkataan kotor, hal itu adalah ucapan kotor, dan diharamkan.
Thawus mengatakan bahwa rafats adalah mengatakan kepada wanita: “Ketika aku telah menghalalkanmu, aku akan menimpa dirimu” Hal yang serupa juga dikatakan oleh Abu Al-‘Aliyah. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa rafats adalah “Menyelimuti wanita, menciumnya, dan memberikan isyarat mata, dan mengucapkan perkataan kotor tentang hubungan intim, serta hal-hal lain yang serupa” Ibnu Abbas dan Ibnu Umar juga mengatakan, “Rafats adalah menyelimuti wanita” Demikian juga yang dikatakan Sa'id bin Jubair, 'Ikrimah, Mujahid, Ibrahim, Abu al-'Aliyah, 'Atha', Mak'hul, 'Atha' Al-Khurasani, 'Atha' bin Yasar, 'Athiyah, Ibrahim An-Nakha'i, Ar-Rabi', Az-Zuhri, As-Suddi, Malik bin Anas, Muqatil bin Hayyan, 'Abdul-Karim bin Malik, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahhak, dan yang lainnya. Terkait firman Allah: (tidak berbuat fasik) Maqsam dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas bahwa yang dimaksud adalah perbuatan maksiat.
Demikian juga yang dikatakan oleh 'Atha', Mujahid, Thawus, 'Ikrimah, Sa'id bin Jubair, Muhammad bin Ka'b, Al-Hasan, Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, Az-Zuhri, Mak'hul, Ar-Rabi' bin Anas, 'Atha' bin Yasar, 'Atha' Al-Khurasani, dan Muqatil bin Hayyan. Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Nafi' dari Ibnu Umar, dia berkata: "Al-Fusuq” adalah sesuatu yang mengandung kemaksiatan kepada Allah, baik berupa hewan buruan atau hal lain" Demikian juga di riwayatkan oleh Ibnu Wahb dari Yunus dari Nafi' bahwa Abdullah bin Umar, dia berkata: "Al-Fusuq” adalah melakukan maksiat kepada Allah dengan melakukan sesuatu yang haram" Ulama’ lainnya mengatakan bahwa “Al-Fusuq” di sini adalah mengumpat. Hal ni dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Mujahid, As-Suddi, Ibrahim, dan Al-Hasan.
Mereka berpegang pada apa yang ada dalam hadits shahih “Mencela orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran” Oleh karena itu Al-Hibr Abu Muhammad bin Abi Hatim dari hadits Sufyan Ats-Tsauri dari Zabid dari Abu Wa'il dari 'Abdullah dari Nabi SAW, beliau bersabda: " Mencela orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran " Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan bahwa “Al-Fusuq” di sini adalah menyembelih hewan untuk berhala-berhala. Allah SWT berfirman: (atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah) (Surah Al-An'am: 145) Adh-Dhahhak mengatakan: “Al-Fusuq” adalah saling mengejek dengan memberi julukan.
Mereka mengatakan: "Al-Fusuq” di sini adalah melaksanakan semua kemaksiatan dengan membawa kebenaran mereka masing-masing. Sebagaimana Allah SWT melarang dalam berbuat zalim di bulan-bulan haram. walaupun di sepanjang tahun itu dilarang, dan di bulan-bulan haram larangan itu dipertegas. Oleh karena itu, Allah berfirman: (di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu) (Surah At-Taubah: 36).
Allah juga berfirman tentang bulan haram: (dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih) (Surah Al-Hajj: 25).
Ibnu Jarir memilih pendapat bahwa “Al-Fusuq” di sini adalah melakukan apa yang dilarang dalam ihram, seperti membunuh hewan buruan, mencukur rambut, memotong kuku, dan hal sejenisnya, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Umar sebelumnya, dan apa yang telah kami sebutkan di awal, dan hanya Allah yang lebih Mengetahui. Telah disebutkan dalam hadits shahih dari hadits Abu Hazim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Siapa yang haji dan tidak berkata jorok dan berbuat fasik, maka akan keluar dosa-dosanya seperti hari dilahirkan dari ibunya " Terkait firmanNya: (dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji) Terdapat dua pendapat: Pendapat pertama: Tidak ada perdebatan selama masa haji dan dalam rangkaian ibadah haji. Allah telah menjelaskan hal itu secara jelas, dan menerangkannya secara lengkap, sebagaimana yang dikatakan oleh Waki' dari Al-‘Ala' bin 'Abdul Karim. “Aku mendengar Mujahid mengatakan tentang firman Allah: (dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji) Allah telah menjelaskan bulan-bulan haji, maka di dalamnya tidak ada perselisihan antara manusia.
Ibnu Abu Najih meriwayatkan dari Mujahid tentang firman Allah: (dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji) dia berkata: "Tidak ada bulan yang diundur-undur, dan tidak ada perselisihan dalam haji yang telah dijelaskan. Kemudian dia menjelaskan bagaimana orang-orang musyrik melakukan sesuatu yang selalu diundur-undur yang dicela oleh Allah" Diriwayatkan dari Ibnu Abbas mengatakan tentang ayat (dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji) dia berkata yaitu pertengkaran tentang haji" Abdullah bin Wahb mengatakan bahwa Malik berkata: "Allah SWT berfirman: (dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji) Maksud dari berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji (Hanya Allah yang lebih mengetahui) adalah bahwa suku Quraisy berdiri di Masy’aril haram di Muzdalifah. Sedangkan bangsa Arab dan lainnya berdiri di Arafah.
Mereka saling berdebat, satu pihak mengatakan: “Kami yang benar,” sementara pihak lain mengatakan,”Kami yang benar”. Ini adalah menurut pandangan kami, dan hanya Allah yang lebih mengetahui" Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam bahwa mereka berdiri di berbagai tempat yang berbeda dan saling berdebat, masing-masing mereka mengklaim bahwa posisi mereka adalah posisi nabi Ibrahim. Lalu Allah memutuskannya ketika Dia memberi tahu nabiNya SAW tentang tata cara ibadah haji.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Ka'ab, dia berkata: "Suku Quraisy, ketika berkumpul di Mina, di antara mereka ada yang berkata, “Kami telah melakukan haji yang lebih sempurna daripada haji kalian,” dan ada yang mengatakan, “Kami telah melakukan haji yang lebih sempurna daripada haji kalian." Diriwayatkan dari Qasim bin Muhammad, dia berkata:"Perdebatan dalam haji adalah ketika sebagian dari mereka berkata,”Haji itu besok,” dan sebagian lain berkata, “Haji itu hari ini” Ibnu Jarir memilih bahwa makna dari firman ini, yaitu untuk menghentikan perselisihan dalam tata cara ibadah haji. Pendapat kedua adalah bahwa yang dimaksud dengan "berbantah-bantahan" di sini adalah perselisihan. Abdullah bin Mas'ud berkata tentang firman Allah, (dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji) Dia mengatakan, “kamu bertengkar dengan temanmu hingga kamu membuatnya marah.” Demikian juga yang dikataja Abu Al-‘Aliyah, ‘Atha', Mujahid, Sa'id bin Jubair, 'Ikrimah, Jabir bin Zaid, 'Atha' Al-Khurasani, Mak'hul, As-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Amr bin Dinar, Adh-Dhahhak, Ar-Rabi' bin Anas, Ibrahim An-Nakha'i, 'Atha' bin Yasar, Al-Hasan, Qatadah, dan Az-Zuhri.
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, (dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji) yaitu pertengkaran dan perdebatan sampai kamu membuat marah saudara atau temanmu. Allah melarang perbuatan tersebut. Ibrahim An-Nakha'i juga mengatakan tentang ayat ini, (dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji), mereka membenci perdebatan Diriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata bahwa perdebatan dalam masa haji adalah saling mengumpat dan bertengkar" FirmanNya (Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya) ketika Allah melarang mereka dari melakukan perbuatan buruk baik dalam perkataan maupun perbuatan, Dia mendorong mereka untuk berbuat baik.
Dia memberitahu mereka bahwa Dia Maha Mengetahui perbuatan mereka, dan Dia akan memberikan balasan yang lebih kepada mereka di hari kiamat. FirmanNya (Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata bahwa penduduk Yaman pergi haji tanpa membawa perbekalan, dan mereka mengatakan, “Kami adalah orang yang bertawakkal” Lalu Allah menurunkan ayat, (Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa) Demikian juga dikatakan oleh Ibnu Zubair, Abu Al-‘Aliyah, Mujahid, 'Ikrimah, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Salim bin Abdullah, ;Atha' Al-Khurasani, Qatadah, Ar-Rabi' bin Anas, dan Muqatil bin Hayyan Said bin Jubair berkata, “Berbekallah tepung, tepung gandum, dan kue. Firman Allah, (dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa) Ketika Dia memerintahkan mereka untuk membekali diri dalam perjalanan di dunia, Dia mengarahkan mereka untuk menyiapkan bekal untuk akhirat, yaitu mengambil takwa sebagai bekal, sebagaimana Allah berfirman, (pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik) (Surah Al-A'raf: 26) Ketika Dia menyebut pakaian yang bisa dirasakan, Dia mengarahkan kepada pakaian hakiki, yaitu tunduk, taat, dan takwa.
Dia menyebutkan bahwa itu lebih baik dan lebih bermanfaat dari pakaian itu. Firman Allah, (dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal) Dia berfirman, “Waspadalah terhadap hukuman, dan siksaanKu bagi siapa saja yang membangkang kepadaKu dan tidak melaksanakan perintahKu, Wahai orang-orang yang memiliki akal dan pemahaman"
Sumber: https://tafsirweb.com/719-surat-al-baqarah-ayat-197.html
Informasi Tambahan
Juz
2
Halaman
31
Ruku
26