Kembali ke Surat Al-Baqarah

البقرة (Al-Baqarah)

Surat ke-2, Ayat ke-238

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ

Peliharalah semua salat dan salat wustha. Dan laksanakanlah (salat) karena Allah dengan khusyuk.

📚 Tafsir Al-Muyassar

Jagalah oleh kalian (wahai kaum muslimin) shalat lima waktu yang diwajibkan dengan cara rutin dalam menjalankannya pada waktu-waktunya dengan memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun dan kewajiban-kewajibannya. Dan jagalah shalat yang berada di tengah-tengah antara sholat-sholat itu itu yaitu sholat ashar. Dan dirikanlah shalat kalian dengan menaati Allah, khusyuk lagi tunduk menghinakan diri.

Sumber: https://tafsirweb.com/934-surat-al-baqarah-ayat-238.html

📚 Tafsir as-Sa'di

238. Allah memerintahkan untuk memelihara “shalat-shalat” secara umum dan “shalat wustho” yaitu shalat ashar pada khususnya. Memelihara shalat adalah menunaikannya pada waktunya, dengan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, khusyu padanya, dan seluruh hal yang wajib maupun yang sunnah.

Dengan memelihara shalat, kita akan mampu memelihara seluruh ibadah dan juga berguna untuk melarang dari hal yang keji dan munkar, khususnya jika disempurnakan pemeliharaannya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam FirmanNya, “berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyu’.” Yakni, dengan rasa rendah yang tulus ikhlas dan khusyu, karena patuh itu adalah ketaatan Yang Langgeng yang dibarengi dengan kekhusyu’an.

Sumber: https://tafsirweb.com/934-surat-al-baqarah-ayat-238.html

📚 Tafsir Al-Wajiz

238. Tetaplah mendirikan shalat, dan juga shalat Ashar, yaitu shalat wustha karena berada di bagian tengah shalat 5 waktu. Dan dirikanlah shalat dalam keadaan khusyu’.

Mujahid berkata (Dalam hadits yang diriwayatkan Ath-Thabari): “Dahulu orang-orang berbicara dalam shalat, bahkan ada seorang lelaki yang menyuruh saudaranya untuk melakukan suatu keperluan. Lalu Allah menurunkan ayat {Wa quumuu lillahi qaanitiin}”

Sumber: https://tafsirweb.com/934-surat-al-baqarah-ayat-238.html

📚 Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas)

238-239 Allah memerintahkan untuk menjaga shalat pada waktunya, memelihara batas-batasnya, dan melaksanakannya sesuai dengan waktunya. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits shahih Bukhari Muslim dari Ibnu Mas'ud, dia berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW: “Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya.” Aku bertanya lagi: “Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Berjihad di jalan Allah.” Aku bertanya lagi: “Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Berbuat baik kepada orang tua.” Dia berkata: “Rasulallah SAW memberitahukan hal-hal itu kepadaku dan jika aku meminta tambahan pertanyaan lagi, maka beliau akan menambahkannya.” Dikatakan bahwa yang dimaksud adalah shalat Zhuhur. Dikatakan bahwa yang dimaksud adalah shalat Ashar.

At-Tirmidzi dan Al-Baghawi mengatakan bahwa ini adalah pandangan sebagian besar sahabat dan ulama. Al-Qadhi Al-Mawardi mengatakan: “Ini adalah pandangan mayoritas Tabi'in.” Al-Hafizh Abu 'Umar bin 'Abdul Barr mengatakan: “Ini adalah pandangan sebagian besar ahli hadits.” Abu Muhammad ibn 'Athiyah dalam tafsirnya mengatakan: “Ini adalah pandangan mayoritas orang.” Al-Hafiz Abu Muhammad 'Abdul Mu'min bin Khalaf Ad-Dimyati dalam kitabnya yang berjudul "Kashful Mughatta fi Tabyiini Ash-Shalah Al-Wustha" yang dijelaskan di dalamnya bahwa itu adalah shalat Ashar. Ini dinyatakan oleh Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Abu Ayyub, Abdullah bin Amr, Samurah bin Jundab, Abu Hurairah, Abu Sa'id, Hafshah, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Aisyah dalam hadis shahih yang diriwayatkan dari mereka.

Pendapat ini juga diungkapkan oleh Ubaidah, Ibrahim An-Nakha'i, Razin, Zirr bin Hubaisy, Sa'id bin Jubair, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahhak, Al-Kalbi, Muqatil, Ubaid bin Maryam dan yang lainnya. Ini merupakan pandangan dari madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Al-Qadhi Al-Mawardi dan Asy-Syafi'i mengatakan ini.

Ibnu Mundzir berkata dan ini adalah pendapat yang shahih dari Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad. Ibnu Habib Al-Maliki memilih pendapat ini. Dalil atas hal tersebut: Diriwayatkan dari Zirr, dia berkata: “Aku berkata kepada Ubaidah: “Tanyakanlah kepada Ali tentang shalat wustha.

Lalu dia bertanya kepadanya, dan Ali menjawab: “Kami biasa melihatnya pada waktu fajar atau waktu pagi sehingga aku mendengar Rasulullah SAW bersabda pada hari perang Ahzab: “Mereka menghalangi kita dari shalat wustha, yaitu shalat Ashar. Semoga Allah memenuhi kuburan dan rongga-rongga mereka atau rumah-rumah mereka dengan api neraka.” Hal itu diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Bundar, dari Ibnu Mahdi. serta hadits tentang hari perang Ahzab, bahwa orang-orang musyrik menghalangi Rasulullah SAW dan para sahabatnya dari melaksanakan shalat Ashar pada hari itu. Diriwayatkan oleh banyak sahabat, meskipun penjelasan mereka panjang lebar, namun yang dimaksudkan dari riwayat dari mereka dalam penjelasannya adalah bahwa shalat wustha adalah shalat Ashar.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Ibnu Mas'ud dan Al-Bara' bin 'Azib. Pendapat lain yang bertentangan dengan pendapat bahwa shalat Ashar dikaitkan dengan shalat wustha adalah bahwa huruf “wawu” yang menghendaki makna berbeda, sehingga hal ini menunjukkan bahwa shalat wustha itu adalah shalat lainnya. Jawaban atas hal ini adalah bahwa jika hal ini diriwayatkan sebagai khabar, maka hadits Ali lebih lebih shahih dan lebih tegas.

Hal ini juga mungkin menunjukkan bahwa “wawu” tersebut adalah “wawu zaidah” sebagaimana dalam firmanNya: (Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa (55)) [Surah Al-An'am], dan (Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin (75)) [Surah Al-An'am] atau “wawu” tersebut digunakan untuk menghubungkan antar sifat bukan untuk menghubungkan kata aslinya, seperti dalam firmanNya: (tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi) [Surah Al-Ahzab], dan (Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tingi (1) yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya) (2) dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk (3) dan yang menumbuhkan rumput-rumputan (4)) [Surah Al-A'la].

Dan banyak lagi contoh semacam itu, seorang penyair berkata: Kepada sang raja yang murah hati, kepada putra Al-Hamam, dan kepada singa pasukan dalam keramaian. Dikatakan: "Shalat wustha adalah shalat Maghrib" Dikatakan: "Itu adalah shalat Isya’ terakhir.” Dikatakan: “Shalat wustha adalah mencakup shalat lima waktu.” Semua pendapat tersebut memiliki kelemahan dibandingkan dengan pendapat yang sebelumnya. Namun, pokok perdebatan dan perselisihan ini adalah pada waktu Fajr dan Ashar.

Telah di sebutkan dalam sunnah bahwa yang dimaksud adalah shalat Ashar, maka hal itu dikembalikan lagi ke shalat Ashar. Firman Allah SWT: (Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'), yaitu: khusyu’, tunduk, dan patuh di hadapanNya. Perintah ini menuntut untuk tidak berbicara dalam shalat karena bertentangan dengan esensi shalat.

Oleh karena itu, ketika Nabi SAW dilarang menjawab Ibnu Mas'ud saat memberi salam kepada beliau sedangkan beliau dalam keadaan shalat. Kemudian beliau memberi alasan kepadanya terkait hal itu dengan bersabda: “Di dalam shalat itu sedang sibuk”. Dalam hadits shahih Muslim, disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda kepada Muawiyah bin Al-Hakam As-Sulaimi ketika dia berbicara dalam shalat: “Sesungguhnya shalat ini tidak layak ada sesuatu kata-kata orang pun didalamnya, shalat hanyalah tasbih, takbir dan mengingat Allah” Firman Allah: (Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.

Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (239)). Ketika Allah SWT memerintahkan hamba-hambaNya untuk memelihara shalat dan melaksanakan hukum-hukumnya, dan menegaskan perintah shalat dengan memerikan penegasan. Allah menjelaskan keadaan seseorang yang terhalang dari melaksanakan shalat dengan cara yang lebih sempurna, yaitu dalam situasi pertempuran dan peperangan yang berkecamuk.

Allah berfirman: ) Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan( yaitu laksanakanlah shalat dalam situasi apapun, baik dalam keadaan berjalan kaki atau menunggang kuda, baik menghadap kiblat atau tidak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik dari Nafi', bahwa Ibnu Umar ketika ditanya mengenai shalat dalam keadaan ketakutan, dia menjelaskan tentang hal itu. Kemudian dia berkata: “Jika situasi ketakutan lebih parah dari itu, maka shalatlah baik dalam keadaan berjalan kaki atau menunggang kuda, dengan menghadap kiblat atau tidak” Nafi’ berkata,”Aku tidak melihat Ibnu Umar menyebutkan hal itu, kecuali dari Nabi SAW. Dari Muslim juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata: “Jika situasi ketakutan lebih parah dari itu, maka shalatlah dalam keadaan menunggang kuda atau berdiri dengan isyarat”. Dalam hadits dari Abdullah bin Unais Al-Juhani, ketika Nabi SAW mengutusnya kepada Khalid bin Sufyan Al-Hadzli untuk membunuhnya, dan ketika dia berada di sekitar Arafah atau Muzdalifah, saat tiba waktu shalat Ashar, dia mengatakan: “Aku takut akan melewatkan waktu shalat, lalu aku melaksanakan shalat sambil menggunakan isyarat” Hal ini adalah keringanan dari Allah kepada hamba-hambaNya, dan menghapuskan hal-hal yang membatasi dan mengikat mereka. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari jalur Syabib bin Bisyr, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Dalam ayat ini, orang yang menunggang kuda boleh shalat dalam keadaan menunggang, dan orang yang berjalan kaki boleh shalat dalam keadaan berjalan kaki. Diriwayatkan dari Al-Hasan, Mujahid, Makhul, As-Suddi, Al-Hakam, Malik, Al-Awza'i, dan Ats-Tsauri dan Al-Hasan bin Shalih meriwayatkan pendapat serupa dengan menambahkan: “Dia menggunakan isyarat dengan kepalanya ke arah mana saja yang dia menghadap. Imam Ahmad berpendapat, berdasarkan pendapat bahwa shalat dalam keadaan ketakutan bisa dilakukan dalam beberapa keadaan dengan satu rakaat, jika dua pasukan saling bertemu. Pendapat ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Allah mewajibkan shalat melalui lisan nabi kalian SAW dalam keadaan di tempat tinggal sebanyak empat rakaat, dalam perjalanan dua rakaat, dan dalam keadaan ketakutan satu rakaat.” Hal ini dikatakan oleh Hasan Al-Bashri, Qatadah, Adh-Dhahhak, dan lainnya. Firman Allah: (apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah)) yaitu dirikanlah shalat sebagaimana Dia memerintahkan kalian.

Maka sempurnakanlah rukuk, sujud, berdiri, dan duduknya dengan khusyu’ dan tuma'ninah, (sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui) yaitu sebagaimana Dia memberi nikmati, petunjuk, dan pengetahuan kepada kalian tentang apa yang bermanfaat bagi kalian di dunia dan akhirat. Maka sambutlah itu dengan rasa syukur dan mengingatNya. Sebagaimana firmanNya setelah shalat dalam keadaan ketakutan: (Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman) (Surah An-Nisa: 103).

Dan akan disebutkan hadits-hadits yang menyebutkan tentang shalat dalam keadaan ketakutan dan deskripsinya dalam surah An-Nisa (Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka) (Surah An-Nisa’: 102)

Sumber: https://tafsirweb.com/934-surat-al-baqarah-ayat-238.html

Informasi Tambahan

Juz

2

Halaman

39

Ruku

32

Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk

Surah An-Nahl: 98

Adab Membaca Al-Quran

1. Suci dari Hadats

Pastikan dalam keadaan suci dari hadats besar dan kecil sebelum memegang dan membaca Al-Quran. Berwudhu terlebih dahulu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada kitab suci Al-Quran.

2. Niat yang Ikhlas

Membaca Al-Quran dengan niat mencari ridha Allah SWT, bukan untuk pamer atau mencari pujian. Niat yang ikhlas akan membawa keberkahan dalam membaca Al-Quran.

3. Menghadap Kiblat

Diutamakan menghadap kiblat saat membaca Al-Quran sebagai bentuk penghormatan dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Posisi duduk yang sopan dan tenang juga dianjurkan.

4. Membaca Ta'awudz

Memulai dengan membaca ta'awudz dan basmalah sebelum membaca Al-Quran. Ta'awudz merupakan permintaan perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.

5. Khusyuk dan Tenang

Membaca dengan tenang dan penuh penghayatan, memahami makna ayat yang dibaca. Tidak tergesa-gesa dan memperhatikan tajwid dengan baik.

6. Menjaga Kebersihan

Membaca Al-Quran di tempat yang bersih dan suci, serta menjaga kebersihan diri dan pakaian. Hindari membaca Al-Quran di tempat yang tidak pantas.

7. Memperindah Suara

Membaca Al-Quran dengan suara yang indah dan tartil, sesuai dengan kemampuan. Tidak perlu memaksakan diri, yang terpenting adalah membaca dengan benar sesuai tajwid.

Masukan & Feedback:info@finlup.id
© 2025 quran.finlup.id - All rights reserved