Kembali ke Surat Al-Baqarah

البقرة (Al-Baqarah)

Surat ke-2, Ayat ke-18

صُمٌّ ۢ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُوْنَۙ

Mereka tuli, bisu dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali.

📚 Tafsir Al-Muyassar

Mereka itu tuli untuk mendengar kebenaran dengan pendengaran yang disertai tadabur, mereka bisu untuk mengungkapkannya dan buta dari melihat cahaya hidayah. Oleh karena itu mereka tidak dapat kembali menuju keimanan yang telah mereka tinggalkan dan telah mereka ganti dengan kesesatan.

Sumber: https://tafsirweb.com/248-surat-al-baqarah-ayat-18.html

📚 Tafsir as-Sa'di

18. “Mereka tuli, ” maksudnya tuli dari mendengarkan kebaikan, “bisu, ” maksudnya bisu dari membicarakannya, “dan buta” dari melihat kebenaran, “maka tidaklah mereka akan kembali ke jalan yang benar, ” karena mereka meninggalkan kebenaran setelah mereka mengetahuinya, lalu mereka tidak kembali kepadanya, berbeda dengan orang yang meninggalkan kebenaran karena kebodohan dan tersesat, karena sesungguhnya ia tidak berpikir, dan ini lebih dekat untuk kembali daripada orang-orang munafik itu.

Sumber: https://tafsirweb.com/248-surat-al-baqarah-ayat-18.html

📚 Tafsir Al-Wajiz

Sesungguhnya mereka tuli dari kebenaran, yaitu tidak (mampu) mendengar seruan (kebenaran), mereka bisu, yaitu tidak dapat berbicara apapun, dan buta dari jalan petunjuk, yaitu tidak bisa melihat jalan tersebut. Maka dari itu, mereka tidak dapat kembali dari kesalahan dan kesesatan mereka

Sumber: https://tafsirweb.com/248-surat-al-baqarah-ayat-18.html

📚 Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas)

Dikatakan “Matsalun”, “Mitslun”, dan “Matsiilun” juga. Bentuk jamaknya adalah “Amtsal”. Allah SWT berfirman, (Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (43)) (Surah Al-Ankabut).

Makna dari perumpamaan ini yaitu bahwa Allah telah menyamakan mereka dalam membeli kesesatan dengan petunjuk dan penggambaran mereka setelah mendapat penglihatan (petunjuk) menuju kebutaan (kesesatan) dengan orang yang menyalakan api. Saat api itu menyinari sekelilingnya, lalu dia memperoleh manfaat darinya dan dapat melihat apa yang ada di sisi kanan dan kiri serta merasa nyaman dengan cahaya itu. Kami menerangkan seperti itu yaitu ketika api itu padam, dia berada dalam gelap gulita, tidak dapat melihat dan tidak mendapat petunjuk, dan bersamaan dengan kondisi itu, dia tuli, tidak mendengar, bisu, tidak berbicara, dan buta bahkan jika ada cahaya pun, dia tidak bisa melihat; karena itu, dia tidak kembali kepada keadaan sebelumnya.

Begitu pula orang-orang munafik dalam mengganti petunjuk dengan kesesatan, dan lebih menyukai kesesatan daripada petunjuk. Perumpamaan ini menunjukkan bahwa mereka telah beriman kemudian kembali kafir, sebagaimana yang diberitahukan oleh Allah SWT tentang mereka di ayat lain. Hanya Allah yang lebih Mengetahui.

Apa yang telah kami sebutkan ini juga telah diriwayatkan oleh Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab tafsirnya dari As-Suddi, kemudian dia berkata: “Penyerupaan di sini menunjukkan sesuatu yang benar, karena dengan keimanan mereka saat pertama kali, mereka memperoleh cahaya, kemudian dengan kemunafikan mereka, mereka menghilangkan cahaya itu dan terjerumus dalam kebingungan yang besar; karena tidak ada kebingungan yang lebih besar daripada kebingungan tentang agama. Ibnu Jarir menganggap bahwa perumpamaan untuk mereka di sini adalah bahwa mereka tidak beriman pada satu waktu, dan dia berdalil dengan firman Allah SWT: (Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman (8)) [Surah Al-Baqarah] Yang benar yaitu bahwa ayat ini merupakan pemberitahuan tentang kemunafikan dan kekafiran mereka.

Hal ini juga tidak menafikan bahwa mereka pernah memiliki iman, kemudian direnggut, dan hati mereka dikunci mati. Ibnu Jarir tidak menyebutkan ayat ini di sini, yaitu firman Allah: (Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti) [Surah Al-Munafiqun: 3].

Oleh karena itu, perumpamaan ini menunjukkan bahwa mereka telah menyinari diri mereka dengan kata iman yang mereka tunjukkan di dunia, kemudian mereka diliputi oleh kegelapan di hari kiamat. Dia berkata,”Perumpamaan yang menunjukkan makna jamak dengan menggunakan bentuk mufrad ini benar, sebagaimana Allah SWT berfirman: (kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati) [Surah Al-Ahzab: 19] maknanya yaitu seperti melihat dengan mata berputar-putar seperti orang pingsan karena akan mati.

Allah SWT juga berfirman: (Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja) [Luqman: 28]. Allah SWT juga berfirman: (Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal) [Surah Al-Jumu'ah: 5] Sebagian ulama’ berkata, “Makna kalimat tersebut, yaitu (perumpamaan cerita mereka itu seperti cerita orang yang menyalakan api) Sebagian ulama’ juga berkata bahwa orang yang menyalakan api ini adalah satu orang untuk (menerangi) sekelompok orang yang bersamanya.

Sebagian ulama’ lainnya bekata bahwa kata (Alladzi) di sini bermana (Alladzina) sebagaimana yang dikatakan seorang penyair: Dan sesungguhnya orang-orang yang sudah dekat waktunya untuk memancarkan darahnya, itu adalah semua orang, wahai Ummu Khalid. Saya berkata,” Sungguh kata petunjuk untuk satu orang dalam perumpamaan init beralih ke bentuk jamak dalam firmanNya: (Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat (17) Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar (18)). Ini adalah ungkapan yang lebih terang dan susunan yang lebih jelas.

Firman Allah SWT: (Allah menhilangkan cahaya mereka) maknanya yaitu Allah menghilangkan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka, yaitu cahaya, dan membiarkan hal-hal yang merugikan mereka, yaitu kebakaran dan asap. Dan firmanNya (dan membiarkan mereka dalam kegelapan) maknanya yaitu tempat yang mereka tinggali yaitu keraguan, kekufuran dan kemunafikan. (Mereka tidak melihat) maknanya adalah mereka tidak mendapatkan petunjuk menuju jalan kebaikan dan mereka tidak mengetahuinya. Dan mereka terhadap jalan kebaikan itu (tuli) tidak mendengar kebaikan (bisu) tidak membicarakan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka, dan (buta) dalam kesesatan, sebagaimana Allah SWT berfirman: (Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.) [Surah Al-Hajj: 46].

Karena itulah mereka tidak kembali kepada petunjuk yang mereka tukar dengan kesesatan. Disebutkan pendapat-pendapat dari para mufasir terdahulu sebagaimana yang kita sebutkan: Mujahid berkata: makna (maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya) yaitu bahwa cahaya api karena penerimaan mereka terhadap orang-orang mukmin dan petunjuk. 'Atha’ Al-Khurasani berpendapat tentang firman Allah SWT: (Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api), dia berkata bahwa perumpamaan orang munafik ini kadang-kadang bisa melihat dan kadang-kadang menetahui, kemudian dia diliputi kebutaan hati.

Ibnu Abi Hatim berkata,”Diriwayatkan dari 'Ikrimah, Al-Hasan, As-Suddi, dan Ar-Rabi' bin Anas, bahwa pendapatnya serupa dengan pendapat yang dikatakan oleh 'Atha’ Al-Khurasani Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata tentang firmanA Allah SWT: (Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api ...) hingga akhir ayat; bahwa ini adalah gambaran tentang orang-orang munafik. Mereka telah beriman sehingga cahaya keimanan itu menyinari hati mereka, sebagaimana cahaya api menyinari orang-orang yang menyalakan (api). Kemudian mereka ingkar, maka Allah merenggut cahaya itu dari mereka, sebagaimana cahaya api ini lenyap, lalu Dia membiarkan mereka dalam kegelapan tanpa bisa melihat.

Adapun ungkapan Ibnu Jarir itu mirip dengan apa yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah SWT: (Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api). Dia berkata, “Ini adalah perumpamaan yang dibuat Allah untuk orang-orang munafik bahwa sesungguhnya mereka merasa bangga dengan Islam, lalu mereka menikah dengan orang-orang muslim, mendapatkan bagian warisan mereka, dan berbagi rampasan perang. Namun, lalu ketika mereka mati, Allah mencabut kemuliaan itu dari mereka, sebagaimana orang yang menyalakan api itu mencabut cahayanya.

Dan Abu Ja'far Ar-Razi mengutip dari Ar-Rabi' bin Anas dari Abu Al-'Aliyah tentang makna ayat (Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api) yaitu bahwa cahaya api itu adalah sesuatu yang mereka nyalakan, dan ketika api itu padam, cahayanya hilang. Begitu juga orang munafik, setiap kali mereka mengucapkan kalimat “La ilaha illallah”, cahaya akan menyinarinya. Lalu jika mereka ragu, mereka jatuh dalam kegelapan.

Ad-Dahhak mengatakan berpendapat tentang ayat (Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka) bahwa makna kata “Amma nuruhum ” adalah iman yang mereka ucapkan. Dari Qatadah bahwa makna (Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya) itu adalah kalimat “La ilaha illallah” yang telah menyinari mereka. Lalu dengan cahaya itu, mereka makan-minum, merasakan keamanan, menikahi perempuan, dan menumpahkan darah mereka, hingga ketika mereka mati, Allah mencabut cahaya mereka dan meninggalkan mereka dalam kegelapan tanpa bisa melihat Sa’id meriwayatkan dari Qatadah tentang ayat ini, yaitu ketika seorang munafik mengucapkan “La ilaha illallah”, maka cahaya menyinari mereka di dunia.

Lalu dengan kalimat itu, mereka menikahi orang-orang muslim, berperang bersama mereka, mewarisi harta mereka, serta menumpahkan darah dan harta mereka. Lalu, ketika berada di ambang kematian, cahaya itu dicabut dari orang munafik. Hal itu karena sebenarnya kalimat itu tidak memiliki akar dalam hati mereka dan tidak memiliki makna yang hakiki dalam amal perbuatan mereka.

Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang ayat (dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat), bahwa maknanya adalah mereka akan menerima siksa ketika mati. Dari Ibnu Abbas berkata bahwa "(dan membiarkan mereka dalam kegelapan)" maknanya yaitu mereka bisa melihat kebenaran dan mengakuinya. sampai mereka keluar dari kegelapan dari kekafiran, lalu mereka memadamkan cahaya itu dengan kekafiran dan kemunafikan mereka, kemudian mereka dibiarkan dalam kegelapan dari kekafiran, di mana mereka tidak dapat melihat petunjuk dan tidak bisa berpegang pada kebenaran. Dari Ibnu Abbas berkata bahwa (Mereka tuli, bisu dan buta) maknanya yaitu merekamereka tidak mendengarkan, tidak melihat, dan tidak memahami kebenaran.

Demikian pula pendapat Abu Al-‘Aliyah dan Qatadah bin Di'amah. Terkait ayat (maka tidaklah mereka akan kembali) Ibnu Abbas berkata: maknanya yaitu bahwa mereka tidak kembali kepada petunjuk. Demikian pula pendapat Ar-Rabi' bin Anas.

Qatadah berkata, makna (maka tidaklah mereka akan kembali) yaitu mereka tidak bertaubat, dan tidak mengingat

Sumber: https://tafsirweb.com/248-surat-al-baqarah-ayat-18.html

Informasi Tambahan

Juz

1

Halaman

4

Ruku

3

Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk

Surah An-Nahl: 98

Adab Membaca Al-Quran

1. Suci dari Hadats

Pastikan dalam keadaan suci dari hadats besar dan kecil sebelum memegang dan membaca Al-Quran. Berwudhu terlebih dahulu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada kitab suci Al-Quran.

2. Niat yang Ikhlas

Membaca Al-Quran dengan niat mencari ridha Allah SWT, bukan untuk pamer atau mencari pujian. Niat yang ikhlas akan membawa keberkahan dalam membaca Al-Quran.

3. Menghadap Kiblat

Diutamakan menghadap kiblat saat membaca Al-Quran sebagai bentuk penghormatan dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Posisi duduk yang sopan dan tenang juga dianjurkan.

4. Membaca Ta'awudz

Memulai dengan membaca ta'awudz dan basmalah sebelum membaca Al-Quran. Ta'awudz merupakan permintaan perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.

5. Khusyuk dan Tenang

Membaca dengan tenang dan penuh penghayatan, memahami makna ayat yang dibaca. Tidak tergesa-gesa dan memperhatikan tajwid dengan baik.

6. Menjaga Kebersihan

Membaca Al-Quran di tempat yang bersih dan suci, serta menjaga kebersihan diri dan pakaian. Hindari membaca Al-Quran di tempat yang tidak pantas.

7. Memperindah Suara

Membaca Al-Quran dengan suara yang indah dan tartil, sesuai dengan kemampuan. Tidak perlu memaksakan diri, yang terpenting adalah membaca dengan benar sesuai tajwid.

Masukan & Feedback:info@finlup.id
© 2025 quran.finlup.id - All rights reserved