Kembali ke Surat Al-Ahzab

الاحزاب (Al-Ahzab)

Surat ke-33, Ayat ke-6

اَلنَّبِيُّ اَوْلٰى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ وَاَزْوَاجُهٗٓ اُمَّهٰتُهُمْ ۗوَاُولُوا الْاَرْحَامِ بَعْضُهُمْ اَوْلٰى بِبَعْضٍ فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ اِلَّآ اَنْ تَفْعَلُوْٓا اِلٰٓى اَوْلِيَاۤىِٕكُمْ مَّعْرُوْفًا ۗ كَانَ ذٰلِكَ فِى الْكِتٰبِ مَسْطُوْرًا

Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu hendak berbuat baikkepada saudara-saudaramu (seagama). Demikianlah telah tertulis dalam Kitab (Allah).

📚 Tafsir Al-Muyassar

Nabi Muhammad lebih berhak terhadap orang-orang Mukmin dan lebih dekat kepada mereka daripada diri mereka sendiri dalam perkara agama dan dunia. Kehormatan istri-istri Nabi atas umatnya adalah seperti kehormatan ibu-ibu mereka, tidak boleh menikahi istri-istri Nabi sesudah beliau. Sedangkan para pemilik hubungan kekerabatan di kalangan kaum Muslimin, sebagian dari mereka lebih berhak atas warisan sebagian yang lain dalam hokum Allah dan SyariatNya daripada warisan berdasarkan iman dan hijrah. (dahulu Kaum Muslimin di awal-awal Islam saling mewarisi berdasarkan iman dan hijrah, bukan kekerabatan, kemudian hal itu mansukh dengan ayat-ayat warisan).

Kecuali bila kalian (wahai kaum Muslimin) berkenan melakukan kebaikan kepada selain ahli waris dalam bentuk bantuan, kebaikan, silaturahim, wasiat dan kebaikan lainnya. Hukuman tersebut telah ditakdirkan dan ditetapkan di Lauhul Mahfuzh, maka kalian wajib melaksanakannya. Ayat ini mewajibkan sesorang lebih mencintai Nabi daripada dirinya sendiri, wajib tunduk secara utuh kepada beliau, wajib menghormati Ummahatul Mukminin, yaitu para istri Nabi, dan bahwasanya mencaci mereka merupakan kerugian yang sangat nyata.

Sumber: https://tafsirweb.com/7618-surat-al-ahzab-ayat-6.html

📚 Tafsir as-Sa'di

6. Allah menyampaikan suatu informasi yang dengannya mereka bisa mengetahui status Rasulullah dan kedudukannya, sehingga mereka dapat berinteraksi dengan beliau sesuai dengan (konsekuensi) status tersebut, seraya berfirman, “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin daripada diri mereka sendiri,” sesuatu yang paling dekat kepada manusia dan sesuatu yang lebih utama yang dimilikinya. Jadi, Rasulullah itu lebih utama baginya daripada dirinya sendiri.

Sebab, Nabi telah mengerahkan untuk mereka nasihat (ketulusan), rasa kasih dan sayang yang dengannya ia menjadi manusia yang paling pengasih dan paling penyayang. Maka Rasulullah adalah manusia yang paling banyak jasanya kepada mereka dibandingkan siapa saja, karena sesungguhnya tidaklah suatu kebaikan sebesar biji sawi mencapai mereka dan tidak pula keburukan sebesar biji sawi terhindar dari mereka melainkan pasti melalui beliau dan disebabkan beliau. Oleh karena itu, mereka wajib –apabila kehendak dirinya atau kehendak siapa pun dari manusia berlawanan dengan kehendak (maksud) Rasulullah- mendahulukan kehendak Rasulullah, dan tidak melawan perkataan rasulullah dengan perkataan siapa pun dia, dan mereka wajib membelanya dengan jiwa, harta dan anak-anak mereka, dan mendahulukan kecintaan kepada beliau daripada kecintaan kepada manusia semuanya.

Dan tidak boleh berkata sampa beliau berkata, tidak boleh mendahuluinya. Dia -lah Muhammad sholallohu alaihi wasalam bapa bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam qiroah sebagian sahabat, dia merawatnya sebagaimana merewat bapak kepada anak-anaknya. Maka konsekwensi dari kebapaan ini adalah bahwasanya istri-istri beliau adalah ibu bagi mereka, maksudnya dalam pemuliaan dan kehormatan dan kemuliaan, bukan dalam soal berdua-duaan dan kemahraman.

Ini semua seakan-akan sebagai pengantar bagi pembahasan yang akan disebutkan nanti tentang kisah Zaid bin Haritsah yang sebelumnya dipanggil Zaid bin Muhammad, hingga Allah menurunkan ayatNya, "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" (Al-Ahzab:40). Maka semenjak itu Allah memutus nasabnya dan afiliasinya kepadanya.

Allah menginformasikan dalam ayat ini bahwasanya orang-orang Mukmin semuanya adalah anak-anak Rasulullah, maka tidak ada kelebihan antara satu dengan yang lainnya, sekalipun afiliasi dakwah terputus dari salah seorang dari mereka. Sebab, nasab imani itu tidak pernah terputus darinya. Maka hendaknya dia tidak perlu bersedih dan berduka.

Kedudukan tersebut mengakibatkan kedudukan para istri Rasul sebagai ibu bagi seluruh kaum Mukminin, maka mereka tidak bisa menjadi halal bagi siapa saja sepeninggal beliau, sebagaimana ditegaskan oleh Allah, dan tidak halal (pula) bagi kalian mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. (Al-Ahzab:53). “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah,” maksudnya, kaum kerabat dekat dan jauh, “satu sama lain lebih berhak (saling mewarisi) di dalam Kitab Allah,” maksudnya, dalam hukumNYa. Maka sebagian mewarisi sebagian yang lain, dan sebagian berbuat baik kepada sebagian yang lain. Jadi mereka lebih utama daripada sumpah dan pembelaan.

Dan demikian pula, anak-anak angkat yang dahulu menjadi pewaris karena sebab-sebab tersebut dengan mengabaikan kaum kerabat pun telah diputus oleh Allah, lalu Allah menjadikan hak waris diberikan kepada kaum kerabat sebagai kasih saying dan kebajikan dariNya. Sebab, kalau permasalahan (pewarisan) terus berdasarkan kebiasaan yang telah lalu, niscaya akan banyak terjadi kerusakan, keburukan dan upaya-upaya tipu daya untuk mencegah kaum kerabat dari harta waris. “Daripada orang-orang Mukmin dan orang-orang MUhajirin,” maksudnya, sama saja apakah kaum kerabat itu adalah orang-orang Mukmin Muhajirin ataukah bukan Muhajirin. Sebab, sesungguhnya orang-orang yang mempunyai hubungan darah (dzawil arham) itu lebih diutamakan dalam masalah ini.

Ayat ini merupakan hujjah (argument) atas perwalian orang-orang yang mempunyai hubungan darah dalam seluruh bentuk perwalian, seperti dalam perwalian nikah, harta, dan lain-lainnya, ”kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu seagama,” maksudnya, mereka tidak mempunyai hak yang diwajibkan, melainkan berdasarkan kehendak kalian saja jika kalian suka memberi mereka secara suka rela dan memberikan kepada mereka suatu kebaikan dari kalian. “Yang demikian itu” keputusan tersebut di atas “tertulis di dalam al-KItab,” maksudnya, telah termaktub dan ditulis serta telah ditetapkan oleh Allah, maka harus dilaksanakan.

Sumber: https://tafsirweb.com/7618-surat-al-ahzab-ayat-6.html

📚 Tafsir Al-Wajiz

6. Nabi lebih berhak atas kalian wahai orang-orang Mukmin, dalam urusan dunia dan agama, dan lebih utama diantara mereka, imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “tidak ada seorang Mukmin yang lebih utama dibandingkan aku di dunia dan di akhirat bacalah jika kalian mau: “Nabi itu lebih utama dibandingkan orang-orang Mukmin” maka ketika seorang Mukmin meninggalkan hartanya dan mewariskan hartanya kepada orang yang dikehendaki, ketika ia meninggalkan harta atau menghambur-hamburkannya – keturunan – maka datangilah aku sebab akulah tuannya”. Dan para istri-istri Nabi adalah sebagai ibu umat Islam yang diagungkan dan dihormati, orang-orang yang memiliki ikatan kerabat sebagiannya telah memiliki hak waris dengan sebagian yang lain.

Adat yang demikian telah dihapus ketika masa kejayaan islam di zaman dahulu dari hijrah dan perwalian. Seperti dengan kekerabatan (persaudaraan) dan perwalian, maka mereka lebih utama secara hukum Allah dalam hal mewaris diantara kerabat yang jauh, kecuali jika mereka berwasiat kepada para sahabat yang dipercayainya yang kemudian dijadikan wali dan mewarisi hartanya diantara orang mukmin. Yang ma’ruf disini adalah wasiyat, bahwa hukum yang demikian itu ada;ah hukum mewaris bagi kerabat yang memiliki ikatan darah yang telah ditetapkan di lauhil mahfudz.

Maka kalian wajib mengamalkannya

Sumber: https://tafsirweb.com/7618-surat-al-ahzab-ayat-6.html

📚 Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas)

Allah SWT mengetahui kasih sayang Rasulullah SAW kepada umatnya dan nasehat beliau kepada mereka, maka Allah menjadikan beliau lebih utama bagi mereka daripada diri mereka sendiri. Dan keputusan Allah terhadap mereka mendahului pilihan mereka untuk diri mereka sendiri, sebagaimana Allah SWT berfirman: (Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (65)) (Surah An-Nisa’) Disebutkan dalam hadits shahih:”Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamanNya, tidaklah seseorang dari kalian beriman sampai aku lebih dicintai olehnya daripada dirinya sendiri, hartanya, anak-anaknya, dan semua orang.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda:“Tidak ada seorang mukmin melainkan aku adalah orang yang paling utama baginya di dunia dan akhirat. Bacalah jika kalian suka (Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri) Maka siapapun orang mukmin yang meninggalkan harta, maka diwariskan kepada para 'ashabahnya yang ada, dan jika dia meninggal­kan hutang atau anak-anak yatim, maka datanglah kepadaku, maka aku yang menjadi maulanya” Allah SWT berfirman: (dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka) yaitu dalam hal mahram dan kehormatan, dimuliakan, dihormati, dan diagungkan, tetapi tidak boleh berkhalwat dengan mereka. Dan kemahraman itu tidak menyebar sampai kepada anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan mereka, menurut kesepakatan mayoritas ulama Firman Allah SWT: (Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah) yaitu, menurut hukum Allah (daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin) yaitu kerabat itu lebih utama dengan saling mewarisi satu sama lainnya daripada kaum Muhajirin dan kaum Anshar.

Ayat ini menasakh hukum yang sebelumnya tentang warisan, yang dapat dilakukan dengan halaf dan saudara angkat di antara mereka. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas dan lainnya bahwa dahulu kaum Muhajirin mewarisi kaum Anshar bukan kerabat dan orang yang memiliki hubungan silaturahmi karena adanya persaudaraan angkat yang diadakan Nabi SAW di antara mereka. Firman Allah SWT: (kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama)) yaitu mewarisi dan yang ada hanyalah saling tolong-menolong, berbuat baik, silaturahim, dan saling memberi wasiat.

Firman Allah SWT: (Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)) yaitu hukum ini yaitu bahwa orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lainnya lebih berhak mewarisi merupakan hukum dari Allah yang telah ditetapkan dan telah tertulis dalam kitab Allah yang pertama, yang tidak dapat diganti dan diubah.

Sumber: https://tafsirweb.com/7618-surat-al-ahzab-ayat-6.html

Informasi Tambahan

Juz

21

Halaman

418

Ruku

361

Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk

Surah An-Nahl: 98

Adab Membaca Al-Quran

1. Suci dari Hadats

Pastikan dalam keadaan suci dari hadats besar dan kecil sebelum memegang dan membaca Al-Quran. Berwudhu terlebih dahulu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada kitab suci Al-Quran.

2. Niat yang Ikhlas

Membaca Al-Quran dengan niat mencari ridha Allah SWT, bukan untuk pamer atau mencari pujian. Niat yang ikhlas akan membawa keberkahan dalam membaca Al-Quran.

3. Menghadap Kiblat

Diutamakan menghadap kiblat saat membaca Al-Quran sebagai bentuk penghormatan dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Posisi duduk yang sopan dan tenang juga dianjurkan.

4. Membaca Ta'awudz

Memulai dengan membaca ta'awudz dan basmalah sebelum membaca Al-Quran. Ta'awudz merupakan permintaan perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.

5. Khusyuk dan Tenang

Membaca dengan tenang dan penuh penghayatan, memahami makna ayat yang dibaca. Tidak tergesa-gesa dan memperhatikan tajwid dengan baik.

6. Menjaga Kebersihan

Membaca Al-Quran di tempat yang bersih dan suci, serta menjaga kebersihan diri dan pakaian. Hindari membaca Al-Quran di tempat yang tidak pantas.

7. Memperindah Suara

Membaca Al-Quran dengan suara yang indah dan tartil, sesuai dengan kemampuan. Tidak perlu memaksakan diri, yang terpenting adalah membaca dengan benar sesuai tajwid.

Masukan & Feedback:info@finlup.id
© 2025 quran.finlup.id - All rights reserved