Kembali ke Surat Al-Ahzab

الاحزاب (Al-Ahzab)

Surat ke-33, Ayat ke-49

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّوْنَهَاۚ فَمَتِّعُوْهُنَّ وَسَرِّحُوْهُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلًا

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.

📚 Tafsir Al-Muyassar

Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan rasulNya serta melaksanakan SyariatNya, bila kalian melakukan akad dengan seorang wanita dan kalian belum menyentuhnya kemudian menceraikannya sebelum kalian menggaulinya, maka kalian tidak memilki hak iddah yang kalian perhitungkan atasnya, berikanlah dari harta kalian pemberian Cuma-Cuma sehingga dia bisa mengambil manfaat darinya menurut kemampuan kalian dan untuk menghibur kesedihannya, biarkanlah jalannya dengan tetap menutupi aibnya dengan cara yang baik tanpa menyakiti dan memudaratkan.

Sumber: https://tafsirweb.com/7661-surat-al-ahzab-ayat-49.html

📚 Tafsir as-Sa'di

49. Allah menyampaikan kepada orang-orang yang beriman, bahwa mereka apabila telah menikahi wanita-wanita beriman kemudian menceraikannya sebelum mencampuri mereka, maka mereka tidak wajib beriddah dalam hal ini yang dituntut oleh suami terhadap mereka; dan Allah memerintahkan kepada mereka untuk memberikan mut’ah dalam kondisi seperti ini berupa sebagian harta benda yang bisa menjadi penguat perasaan-perasaan (luka hati) mereka karena mereka dicerai; dan Allah memerintahkan juga untuk mencerai mereka dengan cara yang baik, tidak saling memusuhi, tidak saling memaki, tidak saling menuntut dan lain sebagainya. 1. Dengan ayat ini diambil dalil bahwa talak (perceraian) tidak terjadi kecuali setelah nikah.

Maka kalau seorang laki-laki menceraikannya sebelum menikahinya, atau menggantungkan perceraiannya pada pernikahannya, maka talak tidak terjadi, karena Firman Allah, “Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka.” Allah menetapkan talak sesudah terjadi pernikahan. Ini menunjukkan bahwa talak sebelum nikah tidak mempunyai tempat (pembahasan). Dan apabila talak, yang pada hakikatnya adalah perceraian penuh dan pengharaman yang utuh itu tidak terjadi sebelum nikah, maka pengharaman yang tidak sempurna karena kasus zhihar atau ila’ dan yang serupa dengannya adalah tentu lebih utama dan lebih pasti tidak akan terjadi sebelum nikah.

Demikianlah menurut salah satu pendapat ulama yang paling shahih. 2. Dan ayat tersebut dijadikan dalil pula atas diperbolehkannya talak, sebab Allah mengabarkan tentang orang-orang Mukmin dengan nada tidak mencela mereka karenanya, dan Dia juga tidak mencerca mereka, padahal ayat tersebut dimulai dengan sapaan kepada orang-orang Mukmin. 3. Dan ayat tersebut juga (dijadikan dalil) atas diprbolehkannya talak sebelum terjadinya hubungan suami istri, sebagaimana dikatakan dalam ayat yang lain, "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka" (Al-Baqarah:236). 4.

Dan ayat tersebut menunjukkan bahwa istri yang dicerai sebelum dicampuri itu tidak ada kewajiban beriddah, akan tetapi hanya dengan terjadinya talak tersebut ia boleh langsung menikah, tanpa ada penghalang yang menghalanginya. 5. Dan ayat tersebut menunjukkan bahwa ia wajib beriddah (jika perceraian terjadi) sesudah adanya hubungan suami istri. Lalu apakah yang dimaksud dukhul (masuk, mencampuri) dan bersentuhan disini adalah jimak (persetubuhan), sebagaimana telah menjadi keputusan ijma’? ataukah khulwah (berdua—duaan) itu (juga termasuk bermakna dukhul) sekalipun tidak terjadi persetubuhan dengannya, sebagaimana difatwakan oleh para Khulafa’ Rasyidin.

Inilah pendapat yang shahih. Maka ketika dia masuk mengunjunginya, baik dia menyetubuhinya ataupun tidak, apabila ia telah berdua-duaan dengannya, maka istri wajib beriddah. 6. Dan ayat tersebut menjadi dalil bahwa perempuan yang dicerai sebelum terjadi hubungan intim hendaklah diberi mut’ah (semacam cendra mata) oleh mantan suami yang mampu menurut kadar kemampuannya dan suami yang kurang mampu pun menurut kemampuannya.

Hal ini dilakukan apabila mahar pernikahan belum ditetapkan. Akan tetapi kalau mantan istri ini sudah ditetapkan maharnya, maka kalau dicerai sebelum adanya hubungan intim, maka maharnya dibagi dua, dan itu sudah mencukupinya (mewakili) mut’ah. 7. Dan ayat tersebut menjadi dalil bahwa seharusnya suami yang menceraikan istrinya sebelum mencampuri atau telah mencampurinya harus mencerikannya secara baik-baik, perceraian yang kedua belah pihak saling memuji, dan tidak boleh dengan cara yang tidak baik.

Sebab hal yang demikian itu (mencerai tidak dengan cara yang terbaik) mengandung keburukan yang ditimbulkannya, seperti masing-masing pihak akan saling mencela dan menjatuhkan pihak lain lebih banyak lagi. 8. Dan ayat tersebut juga menunjukkan bahwa iddah itu adalah hak suami, berdasarkan FirmanNYa “maka sekali-kali tidak wajib atas mereka beribadah untukmu.” Mafhumnya (makna tersiratnya) menunjukkan bahwa kalau seandainya sang suami menceraikannya setelah adanya hubungan intim, maka dia mempunyai hak iddah atas istrinya. 9. Dan ayat tersebut menunjukkan bahwa istri yang dipisah karena wafat hendaklah melakukan iddah secara pasti, karena Firman Allah, “Kemudian kamu menceraikan mereka.” (Al-Ayat). 10.

Dan ayat tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya istri-istri selain yang belum dicampuri, dari kalangan yang dicerai karena suami eninggal dunia atau masih hidup, maka mereka wajib melakukan iddah.

Sumber: https://tafsirweb.com/7661-surat-al-ahzab-ayat-49.html

📚 Tafsir Al-Wajiz

49. Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berakad untuk menikahi perempuan-perempuan beriman. Kemudian kalian mentalak mereka sebelum melakukan hubungan suami istri menurut pendapat para ahli fiqih madzhab Hanafi, maka tidak ada iddah bagi mereka.

Iddah adalah sesuatu yang berbilang. Mereka bisa langsung menikah setelah kalian ceraikan. Namun berikanlah mereka uang mut’ah sebagai pesangon dengan jumlah yang secukupnya.

Demikian itu apabila pihak laki-laki belum mengucapkan jumlah maharnya, dan apabila telah mengucapkan jumlah maharnya maka pesangon itu adalah separo dari jumalah mahar yang telah disampaikan. Lepaskanlah mereka dengan baik tanpa meninggalkan kemadhorotan bagi mereka, atau tanpa menyakiti mereka.

Sumber: https://tafsirweb.com/7661-surat-al-ahzab-ayat-49.html

📚 Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas)

Ayat yang mulia ini mengandung hukum-hukum yang banyak, antara lain adalah mutlaknya nikah yang hanya sebatas akad saja. Tidak ada suatu ayat pun dalam Al-Qur'an yang menjelaskan tentang hal itu daripada ayat ini. Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian nikah,”Apakah hakikat itu pada akad saja, pada persetubuhan setelahnya, atau pada keduanya?

Ada tiga pendapat. Yang digunakan Al-Qur'an bahwa nikah itu hanya pada akad dan persetubuhan setelahnya, kecuali dalam ayat ini, karena sesungguhnya nikah itu ditujukan hanya pada akad saja, berdasarkan firmanNya SWT: (apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya (menggaulinya)) Dalam ayat ini mengandung dalil untuk memperbolehkan menceraikan istri sebelum berhubungan badan dengannya. Firman Allah SWT: (perempuan-perempuan yang beriman) Ini mengeluarkan pandangan yang seringkali digunakan, karena tidak ada bedanya menurut hukum antara wanita yang mukmin dan wanita kitabiyah dalam hal itu berdasarkan kesepakatan.

Firman Allah SWT: (maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya) Ini merupakan perkara yang disepakati di antara para ulama, bahwa seorang wanita jika diceraikan sebelum berhubungan badan, maka tidak ada masaa iddah baginya. Maka wanita itu boleh pergi dan langsung menikah lagi dengan siapa pun yang dia sukai. Tidak terkecuali dari hal ini selain wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, karena sesungguhnya wanita itu harus menunggu masa iddahnya selama empat bulan sepuluh hari, sekalipun suaminya belum berhubungan badan dengannya, Hal ini juga berdasarkan kesepakatan ulama.

Firman Allah SWT: (Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya) “Mut'ah” di sini lebih umum daripada batasan setengah dari mahar yang telah disebutkan, atau mut'ah khusus, jika masih belum disebutkan maharnya. Allah SWT berfirman: (Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu) (Surah Al-Baqarah: 237) dan (Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.

Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang yang berbuat kebaikan (236)) (Surah Al-Baqarah) Disebutkan dalam hadits shahih Bukhari dari Sahl bin Sa'd dan Abu Usaid, keduanya berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW pernah mengawini Umaimah binti Syarahil, tetapi ketika beliau masuk ke kamarnya dan mengulurkan tangan kepadanya, maka seakan-akan Umaimah tidak suka.

Maka Rasulullah SAW memerintahkan kepada Abu Usaid untuk mengemasi barang-barang Umaimah, lalu beliau memberinya sepasang pakaian sebagai mut'ahnya. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jika beliau telah menyebutkan mahar kepadanya, maka tidak ada bagian baginya selain setengah darinya. Dan jika beliau belum menentukan maharnya, maka dia hanya mendapatkan mut'ah sesuai dengan kemampuan beliau saat itu, dan itulah melepaskan dengan cara yang sebaik-baiknya.

Sumber: https://tafsirweb.com/7661-surat-al-ahzab-ayat-49.html

Informasi Tambahan

Juz

22

Halaman

424

Ruku

366

Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk

Surah An-Nahl: 98

Adab Membaca Al-Quran

1. Suci dari Hadats

Pastikan dalam keadaan suci dari hadats besar dan kecil sebelum memegang dan membaca Al-Quran. Berwudhu terlebih dahulu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada kitab suci Al-Quran.

2. Niat yang Ikhlas

Membaca Al-Quran dengan niat mencari ridha Allah SWT, bukan untuk pamer atau mencari pujian. Niat yang ikhlas akan membawa keberkahan dalam membaca Al-Quran.

3. Menghadap Kiblat

Diutamakan menghadap kiblat saat membaca Al-Quran sebagai bentuk penghormatan dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Posisi duduk yang sopan dan tenang juga dianjurkan.

4. Membaca Ta'awudz

Memulai dengan membaca ta'awudz dan basmalah sebelum membaca Al-Quran. Ta'awudz merupakan permintaan perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.

5. Khusyuk dan Tenang

Membaca dengan tenang dan penuh penghayatan, memahami makna ayat yang dibaca. Tidak tergesa-gesa dan memperhatikan tajwid dengan baik.

6. Menjaga Kebersihan

Membaca Al-Quran di tempat yang bersih dan suci, serta menjaga kebersihan diri dan pakaian. Hindari membaca Al-Quran di tempat yang tidak pantas.

7. Memperindah Suara

Membaca Al-Quran dengan suara yang indah dan tartil, sesuai dengan kemampuan. Tidak perlu memaksakan diri, yang terpenting adalah membaca dengan benar sesuai tajwid.

Masukan & Feedback:info@finlup.id
© 2025 quran.finlup.id - All rights reserved